HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA

Dasar Hukum :

  1. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
  2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun on 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
  3. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
  4. Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

 

A. UKURAN / KRITERIA BADAN ATAU PEJABAT TATA USAHA NEGARA.

Dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 diketahui bahwa ukuran atau kriteria agar suatu badan atau pejabat dapat disebut sebagai badan atau pejabat tata usaha negara adalah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, badan atau pejabat tersebut mempunyai wewenang untuk melaksanakan urusan pemerintahan.

Sebagai akibat dari adanya ukuran atau kriteria tersebut, maka dapat ditentukan bahwa badan hukum perdata, jabatan, atau kedudukan swasta dapat saja bertindak sebagai atau merupakan badan atau pejabat tata usaha negara dengan syarat asal badan hukum perdata, jabatan atau kedudukan swasta tersebut berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku mempunyai wewenang untuk melaksanakan urusan pemerintahan.

 

B. KEBEBASAN BERTINDAK BADAN ATAU PEJABAT TATA USAHA NEGARA MENURUT KEBIJAKSANAANNYA.

Badan atau pejabat tata usaha negara tidak hanya sekedar melaksanakan peraturan perundang-undangan saja karena tidak semua urusan pemerintahan telah diatur oleh peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, agar pelaksanaan urusan pemerintahan yang penting dan mendesak tfvidak sampai terganggu maka kepada badan atau pejabat tata usaha negara diberikan kebebasan bertindak menurut kebijaksanaannya yang dalam bahasa asing disebut freies ermessen (Jerman), Discretionarry (Inggris) atau pouvoir discretionnarre (Prancis), yang jika dirumuskan kebebasan bertindak tersebut adalah kebebasan dari badan atau pejabat tata usaha negara yang dimungkinkan oleh hukum dan yang dapat dipertanggungjawabkan untuk bertindak atas inisiatif sendiri, menyelesaikan urusan pemerintahan yang penting dan mendesak yang belum diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Kebebasan bertindak tersebut bukan kebebasan tanpa dasar hukum tetapi kebebasan yang masih tetap atas dasar hukum atau yang dimungkinkan oleh hukum. Badan atau pejabat tata usaha negara mempunyai kebebasan bertindak menurut kebijaksanaannya sehingga untuk mencegah adanya penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir) atau perbuatan sewenang-wenang (abus de droit) pelaksanaan kebebasan bertindak dari badan atau pejabat tata usaha negara tersebut harus ada batasnya. Batas terhadap pelaksaanaan kebebasan bertindak yang diberikan kepada badan atau pejabat tata usaha negara adalah apa yang disebut sebagai asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Peraturan yang dibuat atau dikeluarkan atas dasar kebebasan bertindak tersebut disebut peraturan kebijaksanaan atau perundang-undangan semu yang dalam bahasa asing disebut beleidsregel, spiegelsrecht, pseudowetgeving (Belanda) atau policy rules (Inggris) yang bentuknya dapat berupa surat keputusan atau keputusan, surat edaran, instruksi, pengumuman atau petunjuk pelaksanaan (Juklak), dan lain-lainnya.

Untuk pembuatan peraturan kebijaksanaan, menurut Van Kreveld, peraturan kebijaksanaan tersebut harus memenuhi beberapa syarat berikut :

  1. Peraturan kebijaksanaan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang mengandung wewenang diskresioner yang menjadi dasar hukum dari peraturan kebijaksanaan yang menjabarkan peraturan perundang-undangan tersebut.
  2. Peraturan kebijaksanaan tidak boleh nyata-nyata bertentangan dengan nalar yang sehat.
  3. Peraturan kebijaksanaan harus dipersiapkan dengan cermat, kalau perlu sebelumnya dimintakan saran teknis dari instansi-instansi yang berwenang, diadakan rembugan dengan pihak-pihak yang tersangkut dengan keputusan tata usaha negara yang bersangkutan. Di samping itu semua kepentingan, keadaan, serta alternatif yang ada perlu dipertimbangkan.
  4. Isi dari kebijaksanaan yang dirumuskan dalam peraturan kebijaksanaan itu harus memberikan kejelasan yang cukup mengenai kewajiban dan hak dari warga yang terkena serta harus ada kepastian mengenai tindakan yang akan dilakukan oleh instansi yang bersangkutan (kepastian hukum formal).
  5. Memang pertimbangan dari peraturan kebijaksanaan demikian itu tidak harus dilakukan secara mendetail. Yang penting asal jelas tujuannya serta dasar pertimbangan mengenai kebijaksanaan yang akan ditempuh.
  6. Peraturan kebijaksanaan harus memenuhi syarat kepastian hukum material, artinya hak-hak yang telah diperoleh dari warga masyarakat yang terkena harus dihormati kemudian juga harapan-harapan yang pantas telah ditimbulkan jangan sampai diingkari.

Sebagai peraturan yang bukan perundang-undangan, peraturan kebijaksanaan tidak langsung mengikat secara hukum, tetapi mengandung relevansi hukum. Peraturan kebijaksanaan pada dasarnya ditujukan kepada badan atau pejabat tata usaha sendiri.

 

C. PERKARA PIDANA TIDAK TERMASUK DALAM RUANG LINGKUP KOMPETENSI PERADILAN TATA USAHA NEGARA.

Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 50 jo Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, dapat diketahui bahwa yang mempunyai wewenang untuk mengadili perkara pidana adalah pengadilan di lingkungan peradilan umum. Oleh karena itu, sudah benar dan tepat bahwa “Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana” tidak termasuk Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, sehingga akibatnya pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara tidak dapat menilai ketiga macam Keputusan Tata Usaha Negara tersebut dari segi penerapan hukumnya, yang dapat menilai dari segi penerapan hukumnya adalah pengadilan di lingkungan peradilan umum. Penjelasan Pasal 2 huruf d Undang-Undang Nomor 5 Tahun on 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sendiri menegaskan bahwa “penilaian dari segi penerapan hukumnya terhadap ketiga macam Keputusan Tata Usaha Negara tersebut dapat dilakukan hanya oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum”.

 

D. KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA YANG DIKELUARKAN ATAS HASIL PEMERIKSAAN BADAN PERADILAN BERDASARKAN KETENTUAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG BERLAKU.

Dari adanya contoh yang terdapat dalam penjelasan Pasal 2 huruf e Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara tersebut terdapat beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian, yaitu sebagai berikut :

  1. Yang dimaksud dengan “hasil pemeriksaan badan peradilan” dalam perumusan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 2 huruf e Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara tersebut adalah hasil pemeriksaan dari penyelenggara kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yaitu Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkunga Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dan Mahkamah Konstitusi.
  2. Jika yang dipergunakan sebagai dasar dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara adalah berupa putusan dari badan peradilan, maka dasar dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara tersebut, dapat berasal atau diambil dari :

a. pertimbangan hukum yang terdapat dalam putusan badan peradilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap, atau

b. amar putusan dari badan peradilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap.

 Dari kasus pemakaian merek dagang “ALTECO” berdasarkan 2 perkara berbeda yang disidangkan namun memiliki relevansi yaitu dengan riwayat putusan :

  1. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusar Nomor 222/Pdt/G/1995;
  2. Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Nomor 088/G.TUN/1997/PTUN.JKT;
  3. Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Nomor 27/13/1998/PT,TUN.JKT

dapat diambil kesimpulan bahwa meskipun putusan badan peradilan yang menjadi dasar dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara itu masih belum mempunyai kekuatan hukum tetap tetapi jika putusan badan peradilan tersebut disertai putusan serta merta (uitvoerbaar bijvooraad), maka Keputusan Tata Usaha Negara yang dimaksud adalah Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf e Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986.

 

E. UNSUR KEPENTINGAN SEBAGAI PENENTU KOMPETENSI PENGGUGAT.

Pasal 53 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 berbunyi :

“Orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan atau rehabilitasi.”

Oleh karena unsur “kepentingan” pada ketentuan yang terdapat dalam Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sangat penting dan menentukan agar seseorang atau badan hukum perdata dapat bertindak sebagai penggugat, maka perlu terlebih dahulu diketahui apa yang dimaksud dengan “kepentingan” pada ketentuan tersebut.

Menurut Indroharto, pengertian kepentingan dalam kaitannya dengan hukum acara tata usaha negara itu mengandung arti, yaitu :

a. menunjuk kepada nilai yang harus dilindungi hukum; dan

b. kepentingan proses, artinya apa yang hendak dicapai dengan melakukan suatu  proses gugatan yang bersangkutan.

Jika diperhatikan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan apa yang dimaksud dengan “kepentingan” dalam ketentuan tersebut, maka sudah sewajarnya jika kemudian Indroharto mengemukakan pendapat bahwa actio popularis tidak berlaku dalam Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara beserta perubahan-perubahannya.

Actio Popularis adalah pengajuan gugatan yang dapat dilakukan oleh setiap orang terhadap adanya perbuatan melawan hukum, dengan mengatasnamakan kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang mengatur adanya prosedur tersebut.

Dengan demikian, menurut Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara beserta perubahan-perubahannya, seseorang atau badan hukum perdata tidak dapat bertindak sebagai penggugat dalam sidang  pengadilan dengan menggunakan prosedur actio popularis.

 

F. KRITERIA TERGUGAT.

Apakah yang menjadi kriteria agar suatu badan atau pejabat memenuhi kriteria sebagai tergugat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara ?

1. Badan Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata.

Kewenangan untuk mengeluarkan keputusan tata usaha negara dimiliki badan tata usaha negara melalui alat perlengkapan badan tata usaha negara yakni suatu jabatan yang ada pada badan tata usaha negara yang dalam kegiatan sehari-hari dilaksanakan oleh pemangku jabatan yang merupakan personifikasi dari jabatan alat perlengkapan badan tata usaha negara.

Sebagai contoh adalah Badan Kepegawaian Negara, yaitu badan yang termasuk lembaga ekstra struktural yang bertanggung jawab kepada presiden dan memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan terhadap banding administratif terhadap penjatuhan hukuman disiplin berupa pemberhentian dengan tidak hormat sebagai pegawai negeri sipil.

Keputusan Badan Kepegawaian Negara tersebut dikeluarkan dan ditandatangani oleh Kepala Badan Kepegawaian Negara sebagai alat perlengkapan dari Badan Kepegawaian Negara. Dengan demikian, jika sampai terjadi sengketa tata usaha negara dengan Badan Kepegawaian Negara, yang menjadi tergugat adalah jabatan Kepala Badan Kepegawaian Negara, bukan Badan Kepegawaian Negara.

2. Pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan keputusan tata usaha negara berdasarkan kewenangan yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata.

Disini peraturan perundang-undangan memberikan kewenangan untuk mengeluarkan keputusan tata usaha negara kepada jabatan tata usaha negara, bukan kepada pemangku jabatan.

Oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, istilah jabatan disebut dengan pejabat, yang akibatnya dapat menyesatkan, karena pejabat adalah sama dengan pemangku jabatan. Sebenarnya yang menjadi tergugat dalam sengketa tata usaha negara adalah jabatan tata usaha negara dan bukan pejabat tata usaha negara.

Sebagai contoh, A sebagai pejabat atau pemangku jabatan Bupati Kepala Daerah Kabupaten X telah mengeluarkan surat perintah pembongkaran bangunan, karena bangunan tersebut tidak memiliki IMB. Pada saat B menggantikan A sebagai pejabat atau pemangku jabatan Bupati Kepala Daerah X, surat perintah pembongkaran tersebut baru dilaksanakan. Jika C merasa dirugikan dengan dilaksanakannya surat perintah pembongkaran dan C mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara, maka dalam sengketa tata usaha negara ini yang menjadi tergugat adalah jabatan Bupati Kepala Daerah Kabupaten X dan bukan B sebagai pejabat atau pemangku jabatan Bupati Kepala Daerah Kabupaten X.

Menurut Indroharto, biasanya badan hukum perdata dalam proses peradilan diwakili oleh organ menurut ketentuan hukum perdata dengan memperhatikan anggaran dasarnya., sedangkan bagi instansi pemerintah yang berkedudukan sebagai badan hukum perdata, seperti provinsi, kotapraja, kabupaten dan sebagainya perlu memperhatikan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang menentukan fungsionaris atau badan yang berwenang mewakili, seperti dalam Pasal 65 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, bahwa kepala daerah mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan.

 

G. KUASA HUKUM YANG MELAMPAUI BATAS KEWENANGAN

Bagaimana jika seandainya penerima kuasa hukum bagi pihak dalam suatu sengketa tata usaha negara melakukan tindakan yang melampaui batas kewenangan yang telah diberikan oleh pemberi kuasa atau telah melakukan action en desavue?

Pasal 84 ayat 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara menentukan bahwa apabila dalam persidangan seorang kuasa melakukan tindakan yang melampaui batas kewenangannya, pemberi kuasa dapat mengajukan sangkalan secara tertulis disertai tuntutan agar tindakan kuasa tersebut dinyatakan batal oleh pengadilan.

Jika sangkalan tersebut dikabulkan, Pasal 84 ayat 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara menentukan bahwa hakim wajib menetapkan dalam putusan yang dimuat dalam berita acara sidang bahwa tindakan kuasa itu dinyatakan batal dan selanjutnya dihapus dari berita acara pemeriksaan.

Menurut Martiman Prodjohamidjojo, action en desavue tersebut disamping dapat dijalankan selama proses persidangan berlangsung, juga dapat dilaksanakan setelah putusan akhir (eindvonnis) diucapkan di muka umum.

 

H. FAKTOR YANG MENYEBABKAN KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA DAPAT DINYATAKAN BATAL ATAU TIDAK SAH.

1. Keputusan tata usaha negara bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Penjelasan Pasal 53 ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara menyebutkan bahwa suatu keputusan tata usaha negara dapat dinilai “bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku” apabila keputusan yang bersangkutan :

a. Bertentangan dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang bersifat prosedural atau formal.

b. Bertentangan dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang bersifat materiil atau substansial.

c. Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang tidak berwenang.

2. Keputusan tata usaha negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Menurut Philipus M. Hadjon dkk, sebenarnya tidak ada daftar khusus berapa jumlah asas-asas yang termasuk dalam asas umum pemerintahan yang baik, karena asas-asas tersebut adalah merupakan levende beginselen, sehingga berkembang menurut praktik khusus melalui putusan pengadilan.

Kepustakaan berbahasa Indonesia belum banyak membahas asas umum pemerintahan yang baik dan jika ada pembahasan, isinya juga hampir sama, karena sumbernya terbatas.

Asas umum pemerintahan yang baik, sebagaimana yang dikemukakan oleh Kuntjoro purbopranoto adalah berasal dari kuliah Prof. R. Crince Le Roy pada penataran lanjutan hukum tata negara – hukum tata pemerintahan di Fakultas Hukum Universitas Airlangga tahun 1976, kecuali asas kebijaksanaan dan asas penyelenggaraan kepentingan umum yang berasal dari beliau sendiri, sedangkan asas umum pemerintahan yang baik sebagaimana yang dikemukakan oleh Indroharto adalah berasal dari Van Wijk atau Koninijnenbelt dalam bukunya Hoofdstukken van Administratef Recht.

Kuntjoro Purbopranoto, asas-asas umum pemerintahan yang baik yaitu:

a. Asas kepastian hukum;

b. Asas keseimbangan;

c. Asas kesamaan dalam mengambil keputusan;

d. Asas bertindak cermat;

e. Asas motivasi untuk setiap keputusan pangreh;

f. Asas jangan mencampuradukkan kewenangan;

g. Asas permainan yang layak;

h. Asas keadilan atau kewajaran;

i. Asas menanggapi pengharapan yang wajar;

j. Asas meniadakan akibat-akibat suatu keputusan yang batal;

k. Asas perlindungan atas pandangan hidup;

l. Asas kebijaksanaan;

m. Asas penyelenggaraan kepentingan umum.

 

I. UPAYA ADMINISTRATIF

Upaya administratif dalam bagian Penjelasan Pasal 48 ayat 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yaitu suatu prosedur yang dapat ditempuh oleh seseorang atau badan hukum perdata apabila ia tidak puas terhadap suatu Keputusan Tata Usaha Negara.

Dalam kepustakaan Tata Usaha Negara ditemukan beberapa istilah yang lazim digunakan untuk menyebut istilah upaya administratif, antara lain administratif beroep, guasi rechtspraak, atau peradilan administrasi semu.

Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, pada beberapa peraturan perundang-undangan sudah terdapat ketentuan bahwa di dalam penyelesaian sengketa tata usaha negara, orang atau badan hukum perdata yang tidak puas terhadap keputusan yang dijatuhkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara, dapat mengajukan upaya administratif kepada badan atau pejabat tata usaha negara, dapat mengajukan upaya administratif kepada badan atau pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan keputusan atau atasannya.

Ketentuan tentang adanya upaya administratif tersebut merupakan dan dimaksudkan sebagai kontrol atau pengawasan yang bersifat intern dan represif di lingkungan tata usaha negara terhadap keputusan yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara.

 

J. ULTRA PETITA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA.

Dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 5K/TUN/1992 tanggal 6 Februari 1993 dapat diketahui bahwa untuk penyelesaian sengketa tata usaha negara, hakim dapat memutuskan ultra petita. Untuk jelasnya secara garis besar kasusnya dapat dikemukakan sebagai berikut :

Ny. D bt A dkk. sebagai penggugat telah mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta dan sebagai tergugat adalah Kepala Badan Pertanahan Nasional DKI Jakarta.

Sebagai petitum dari gugatannya adalah agar dinyatakan tidak sah sertipikat hak guna bangunan nomor 116 dan sertipikat hak guna bangunan nomor 136, karena tanah yang disebutkan dalam kedua sertipikat tersebut adalah miliknya berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 1523K/Sip/1982 tanggal 28 Februari 1983.

Pada petitum dari gugatan tidak dimohonkan pula untuk dinyatakan tidak sah :

a. Akta jual beli nomor 25/JB/III/1983 tanggal 21 Maret 1983 yang dibuat dihadapan Notaris atau PPAT YP, S.H., yang menjadi dasar dikeluarkannya sertifikat hak guna bangunan nomor 116;

b. Akta jual beli nomor 26/JB/III/1983 tanggal 21 Maret 1983 yang dibuat dihadapan Notaris atau PPAT YP, S.H., yang menjadi dasar dikeluarkannya sertipikat hak guna bangunan nomor 136.

Dengan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 010/G/1991/PTUN, tanggal 17 Oktober 1991, gugatan dikabulkan, tetapi dengan Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 13/B/1991/PT, TUN, tanggal 27 Januari 1992, putusan Pengadilan Tata Usaha Negara tersebut dibatalkan.

Dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 5K/TUN/1992, tanggal 6 Februari 1993, dinyatakan tidak sah, baik kedua sertipikat maupun kedua akta jual beli tanah yang menjadi dasar dibuatnya kedua sertifikat tersebut.

Dari putusan Mahkamah Agung tersebut, jelas dapat diketahui bahwa Mahkamah Agung telah menjatuhkan putusan melebihi atau di luar petitum yang diajukan oleh penggugat.

Apa sebab sampai Mahkamah Agung memutus ultra petita dapat diikuti pertimbangannya sebagai berikut :

a. Walaupun pihak penggugat-penggugat asal tidak mengajukannya dalam petitum, Mahkamah Agung dapat mempertimbangkan dan mengadili semua keputusan atau penetapan yang bertentangan dengan tatanan yang ada, yaitu Putusan Mahkamah Agung Nomor 152K/Sip/1982;

b. adalah tidak dapat dibenarkan bila hakim membiarkan keputusan-keputusan dan/atau penetapan-penetapan yang bertentangan dengan tatanan hukum yang ada tersebut berlanjut hanya berdasarkan pertimbangan karena pihak-pihak dalam perkara tidak mengajukan pertentangan yang ada tersebut di persidangan, lagipula adalah tidak pada tempatnya bila hak menguji hakim hanya dibatasi pada objek sengketa yang telah diajukan oleh pihak-pihak, karena sering objek sengketa tersebut harus dinilai dan dipertimbangkan dalam kaitannya dengan bagian-bagian penetapan-penetapan badan atau pejabat tata usaha negara yang tidak disengketakan antara kedua belah pihak (ultra petitia).

Dalam catatannya terhadap putusan Mahkamah Agung tersebut, Olden Bidara mengemukakan bahwa sebagai konsekuensi dari penerapan lembaga hukum ultra petita ini – yakni penambahan objek sengketa yang diajukan oleh para pihak – dapat pula menjurus kepada reformatio in peius, yakni hakim dari peradilan tata usaha negara justru memberi putusan yang merugikan atau mengurangi kedudukan atau kepentingan hukum penggugat, dalam arti dengan putusan hakim dari peradilan tata usaha negara, penggugat akan dibawa ke dalam situasi yang lebih merugikan baginya daripada sebelum ia mengajukan gugatan inlite (lihat kuliah Prof. Mr. B.W.N. de Ward di Utrcecht pada tanggal 2 November 1989). Demikian pula dikemukakan oleh Suparto Widj

 

K. PENINJAUAN KEMBALI TERHADAP PUTUSAN PERKARA SENGKETA TATA USAHA NEGARA.

1. Putusan pengadilan yang dapat diajukan pemeriksaan peninjauan kembali.

Menurut Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, putusan yang dapat diajukan permohonan pemeriksaan peninjauan kembali adalah “putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.”

Yang dimaksud dengan “putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” adalah terhadap putusan pengadilan tersebut sudah tidak ada lagi upaya hukum biasa yang dapat dipergunakan oleh para pihak.

2. Alasan-alasan permohonan peninjauan kembali terhadap putusan perkara sengketa tata usaha negara yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Pasal 67 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung :

a. Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti baru yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu;

b. Apabila perkara setelah diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan;

c. Apabila telah suatu hal yang tidak dituntut atau lebih daripada yang dituntut;

d. Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya;

e. Apabila antara pihak-pihak yang sama, mengenai suatu hal yang sama, atas dasar yang sama oleh pengadilan yang sama atau sama tingkatnya telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain;

f. Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata;

Mengenai alasan untuk mengajukan peninjauan kembali sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 67 huruf c Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, Indroharto mengemukakan bahwa dengan adanya alasan ini dapat disimpulkan, hakim tata usaha negara tidak dapat memutus ultra petita (memutus lebih dari yang dituntut dalam surat gugat).

Untuk dapat memahami apa yang telah dikemukakan oleh Indroharto seperti diatas, terlebih dahulu perlu diingat bahwa ketentuan tentang pemeriksaan peninjauan kembali untuk putusan perkara sengketa tata usaha negara, asalnya adalah ketentuan tentang pemeriksaan peninjauan kembali untuk putusan perkara perdata yang diberlakukan pada pemeriksaan peninjauan kembali untuk perkara sengketa tata usaha negara.

Dalam hukum acara perdata, memang terdapat larangan untuk menjatuhkan putusan tentang hal-hal yang tidak dituntut atau mengabulkan lebih dari yang dituntut, yaitu sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 178 HIR/189 ayat (3) Rbg, meskipun harus diakui ketentuan tersebut dalam penerapannya kemudian telah diperlunak dengan adanya beberapa putusan Mahkamah Agung.

Atas dasar alasan seperti diatas, kiranya dapat dipahami jika sampai Indroharto mengemukakan bahwa hakim tata usaha negara tidak dapat memutus ultra petita, namun dengan adanya putusan Mahkamah Agung Nomor 5K/TUN/1992 tanggal 6 Februari 1993 ternyata hakim tata usaha negara dapat memutus ultra petita.

Dengan demikian, jika ditinjau dari sudut putusan Mahkamah Agung tersebut, alasan untuk mengajukan permohonan pemeriksaan peninjauan kembali sebagaimana dimaksud oleh Pasal 67 huruf c Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dalam perkembangan penerapannya sudah tidak tepat lagi.

Terhadap putusan Mahkamah Agung tersebut terdapat catatan antara lain sebagai berikut :

a. Hakim peradilan tata usaha negara pun pada dasarnya tidak boleh memutus tentang hal-hal yang berada di luar batas permasalahan dan isi dari keputusan badan atau pejabat tata usaha negara yang digugat itu;

b. Hakim peradilan tata usaha negara hanya dapat memeriksa dan memutus tentang hal-hal yang langsung terkait dengan permasalahan pokok yang digugat, walaupun hal itu tidak dimohonkan untuk diputus oleh penggugat;

c. Yang menjadi dasar pertimbangan adalah apakah keputusan badan atau pejabat tata usaha negara itu sejalan dengan tatanan hukum yang ada dan berlaku;

d. Bilamana keputusan badan atau pejabat tata usaha negara itu telah menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang ada, maka hakim peradilan tata usaha negara berkewajiban mengambil putusan atau membatalkan keputusan yang digugat itu, walaupun hal itu tidak dimohonkan untuk diputus oleh penggugat sendiri. Penyimpangan itu harus diluruskan oleh hakim peradilan tata usaha negara dan tidak hanya diserahkan kepada kehendak atau pertimbangan para pihak itu sendiri.

 

Sumber referensi :

Wiyono R., Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, edisi ketiga, cetakan ke-IV, Jakarta TImur : Sinar Grafika, 2016.

OSS ADALAH ONLINE SINGLE SUBMISSION / PERIZINAN BERUSAHA TERINTEGRASI SECARA ELEKTRONIK

DASAR HUKUM :

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2018 TENTANG PELAYANAN PERIZINAN BERUSAHA TERINTEGRASI SECARA ELEKTRONIK

 

DEFINISI :

  1. OSS atau online single submission atau perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik adalah perizinan berusaha yang diterbitkan oleh lembaga OSS untuk dan atas nama menteri, pimpinan lembaga, gubernur, atau bupati/walikota kepada pelaku usaha melalui sistem elektronik yang terintegrasi;
  2. Izin usaha adalah izin yang diterbitkan oleh lembaga OSS untuk dan atas nama menteri, pimpinan lembaga, gubernur, atau bupati/walikota setelah pelaku usaha memulai pendaftaran dan untuk melakukan usaha dan/atau kegiatan sampai sebelum pelaksanaan komersial atau operasional dengan memenuhi persyaratan dan/atau komitmen;
  3. Izin komersial atau operasional adalah izin yang diterbitkan oleh lembaga OSS untuk dan atas nama menteri, pimpinan lembaga, gubernur, atau bupati/walikota setelah pelaku usaha mendapatkan izin usaha dan untuk melakukan kegiatan komersial atau operasional dengan memenuhi persyaratan dan/atau komitmen;
  4. Komitmen adalah pernyataan pelaku usaha untuk memenuhi persyaratan izin usaha dan/atau izin komersial atau operasional;
  5. Lembaga pengelola atau penyelanggara OSS atau lembaga OSS adalah lembaga pemerintah non kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang koordinasi penanaman modal;
  6. Nomor Induk Berusaha atau NIB adalah identitas pelaku usaha yang diterbitkan oleh lembaga OSS setelah pelaku usaha melakukan pendaftaran;
  7. Tanda daftar perusahaan atau TDP adalah surat tanda pengesahan yang diberikan oleh lembaga OSS kepada pelaku usaha yang telah melakukan pendaftaran;

 

LEMBAGA OSS

Lembaga OSS melalui menteri koordinator perekonomian setelah berkoordinasi dengan menteri, pimpinan lembaga, gubernur, dan bupati/walikota berwenang :

  1. menerbitkan perizinan berusaha melalui sistem OSS;
  2. menetapkan kebijakan pelaksanan perizinan berusaha melalui sistem OSS;
  3. menetapkan petunjuk pelaksanaan perizinan berusaha pada sistem OSS;
  4. mengelola dan mengembangkan sistem OSS; dan
  5. bekerja sama dengan pihak lain dalam pelaksanaan, pengelolaan, dan pengembangan sistem OSS.

 

SISTEM OSS

Sistem OSS terintegrasi dan menjadi gerbang (gateway) dari sistem layanan pemerintahan yang telah ada pada kementerian/lembaga atau pemerintah daerah dan menjadi acuan utama (single reference) dalam pelaksanaan perizinan berusaha.

Bagaimana jika kementerian, lembaga, pemerintah daerah provinsi atau pemerintah daerah kabupaten/kota memiliki lebih dari 1 (satu) sistem perizinan elektronik ?

Dalam hal ini, sistem OSS melakukan integrasi pada 1 (satu) sistem perizinan elektronik yang ditentukan oleh kementerian, lembaga, pemerintah daerah provinsi atau pemerintah daerah kabupaten/kota.

 

JENIS PERIZINAN BERUSAHA

  1. Izin usaha; dan
  2. Izin Komersial atau operasional.

 

PEMOHON PERIZINAN BERUSAHA

  1. Pelaku usaha perseorangan; dan
  2. Pelaku usaha non perseorangan.

 

PENERBIT PERIZINAN BERUSAHA

Pelaksanaan kewenangan penerbitan perizinan berusaha oleh menteri, pimpinan lembaga, gubernur, bupati/walikota atau pejabat lain yang telah menerima pelimpahan atau delegasi termasuk penerbitan dokumen lain yang berkaitan dengan perizinan berusaha dilakukan melalui dan diterbitkan oleh lembaga OSS untuk dan atas nama menteri, pimpinan lembaga, gubernur, atau bupati/walikota dalam bentuk dokumen elektronik disertai tanda tangan elektronik berlaku sah dan mengikat berdasarkan hukum serta merupakan alat bukti yang sah dan dapat dicetak. Lembaga OSS menerbitkan NIB setelah pelaku usaha melakukan pendaftaran melalui pengisian data secara lengkap dan mendapatkan NPWP.

 

PENDAFTARAN

Lembaga OSS merupakan kantor tempat pendaftaran perusahaan. Pendaftaran dilakukan oleh pelaku usaha untuk kegiatan berusaha dengan cara mengakses laman OSS. Dalam hal pelaku usaha belum memiliki NPWP, OSS memproses pemberian NPWP.

 

NIB

NIB berbentuk 13 (tiga belas) digit angka acak yang diberi pengaman dan disertai dengan tanda tangan elektronik. NIB merupakan identitas berusaha dan digunakan oleh pelaku usaha untuk mendapatkan izin usaha dan izin komersial atau operasional termasuk untuk pemenuhan persyaratan izin usaha dan izin komersial atau operasional, berlaku selama pelaku usaha menjalankan usaha dan/atau kegiatannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Basis data (data base) perusahaan pada NIB merupakan data dan akta yang sah untuk pemenuhan persyaratan pendaftaran perusahaan. NIB berlaku juga sebagai TDP, API, dan hak akses kepabeanan. Pelaku usaha yang telah mendapatkan. NIB dicabut dan dinyatakan tidak berlaku apabila : 1) pelaku usaha melakukan usaha dan/atau kegiatan usaha yang tidak sesuai dengan NIB; dan 2) dinyatakan batal atau tidak sah berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

 

NIB SEBAGAI TDP

NIB merupakan pengesahan TDP. NIB sebagai TDP berlaku selama jangka waktu keberlakuan NIB.

 

NIB dan  FASILITAS FISKAL

Lembaga OSS setelah menerbitkan NIB sekaligus memberikan informasi mengenai fasilitas fiskal yang akan didapat oleh pelaku usaha sebagai bidang usaha dan besaran rencana penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

NIB dan JAMINAN SOSIAL

NIB sekaligus tedaftar sebagai peserta jaminan sosial kesehatan dan jaminan sosial ketenagakerjaan.

 

PELAKU USAHA MEMPEKERJAKAN TENAGA ASING

Pelaku usaha mengajukan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing (RPTKA) dengan mengisi data pada laman OSS. Berdasarkan data pengajuan RPTKA, sistem OSS memproses pengesahan RPTKA sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sekaligus merupakan izin penggunaan tenaga kerja asing.

 

KETENTUAN PERALIHAN

Perizinan berusaha yang telah diajukan pelaku usaha sebelum berlakunya peraturan pemerintah ini dan belum diterbitkan perizinan berusahanya, diproses melalui sistem OSS sesuai dengan ketentuan peraturan pemerintah ini. Pelaku usaha yang telah mendapatkan izin usaha dan/atau izin komersial atau operasional sebelum peraturan pemerintah ini mulai berlaku dan memerlukan izin usaha dan/atau izin komersial atau operasional yang baru untuk pengembangan usaha, diatur ketentuan sebagai berikut :

  1. pengajuan dan penerbitan perizinan berusaha untuk pengembangan usaha dan/atau kegiatan atau komersial atau operasional dilakukan melalui sistem OSS dengan melengkapi data, komitmen, dan/atau pemenuhan komitmen sesuai dengan ketentuan peraturan pemerintah ini;
  2. Izin usaha dan/atau izin komersial atau operasional yang telah diperoleh dan masih berlaku sesuai bidang usaha dan/atau kegiatan tetap berlaku dan didaftarkan ke sistem OSS;
  3. Pelaku usaha diberikan NIB sesuai dengan ketentuan peraturan pemerintah ini.

 

 

 

CAP JABATAN NOTARIS / STEMPEL JABATAN NOTARIS

Dasar Hukum :

Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.HT.03.10 TAHUN 2007 tentang Bentuk dan Ukuran Cap/Stempel Notaris

 

Dalam peraturan ini diatur mengenai cap/stempel jabatan notaris yaitu :

  1. Cap/stempel berbentuk lingkaran dengan ukuran lingkaran luar berdiameter 3.5 cm (tiga koma lima centimeter) dan lingkaran dalam 2.5 cm (dua koma lima sentimeter);
  2. Jarak antara lingkaran luar dan lingkaran dalam 0.5 cm (nol koma lima sentimeter);
  3. Ruang pada lingkaran dalam memuat lambang Negara Republik Indonesia;
  4. Ruang diantara lingkaran luar dan lingkaran dalam memuat nama alamat lengkap atau nama lengkap dan gelar, jabatan dan tempat kedudukan notaris;
  5. Berwarna merah.

 

Lalu dalam hal bagaimana notaris menggunakan cap/stempel jabatan notaris ?

Dalam pasal 5 diatur bahwa:

“Teraan cap/stempel jabatan notaris digunakan pada minuta akta, akta originali, salinan akta, kutipan akta grosse akta, surat di bawah tangan, dan surat-surat resmi yang berhubungan dengan pelaksanaan tugas jabatan Notaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris”.

Tentu saja Pasal 15 yang dimaksud diatas, dewasa ini ditujukan untuk Pasal 15 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Memang menjadi suatu dilema apabila dihubungkan dengan hukum tata usaha negara, bagaimana peraturan menteri yang merupakan penjabaran lebih lanjut dari Pasal 16 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris mengenai kewajiban notaris yang telah diubah berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 belum digantikan dengan peraturan menteri yang baru, sedangkan dalam Pasal 91B Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 diatur bahwa “peraturan pelaksanaan dari undang-undang ini harus ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak undang-undang ini diundangkan”. Dengan kata lain Pasal 91B telah memerintahkan otoritas untuk menerbitkan peraturan pelaksanaan yang baru, namun sampai saat ini perintah tersebut belum diimplementasikan. Lalu bagaimana dampaknya seorang notaris selaku pejabat pembuat akta otentik yang merupakan alat bukti terkuat ternyata dalam pelaksanaan jabatannya dilandasi atas suatu peraturan menteri yang ternyata telah diperintahkan untuk diganti?. Apakah demi hukum peraturan menteri tersebut menjadi tidak berlaku?. Bagaimana dengan kekuatan hukum dari cap/stempel jabatan notaris yang telah digunakan sejak Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 diundangkan?. Bagaimana otentisitas akta dan kewenangan lain notaris yang telah dibuat ?. Tentu saja sebagai seorang notaris yang harus yakin bahwa dalam melaksanakan tugas jabatannya didasarkan atas peraturan pelaksanaan yang berlaku dan memiliki kekuatan mengikat, maka paham yang dibentuk adalah Pasal 91B Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tidak menyatakan dengan tegas mencabut dan menyatakan tidak berlaku peraturan pelaksanaan yang terbit sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014. Meskipun telah diperintahkan dalam jangka waktu 1 tahun harus diterbitkan peraturan pelaksanaan yang baru, namun tidak menjadi dasar bahwa apabila dalam jangka waktu 1 tahun belum diterbitkan peraturan pelaksanaan yang baru, maka peraturan pelaksanaan yang lama dicabut dan tidak berlaku. Untuk mengantisipasi dan memitigasi keraguan yang timbul sepantasnya otoritas segera menerbitkan peraturan baru sebagai peraturan pelaksanaan dari Pasal 16 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014.

 

Bagaimana penggunaan cap/stempel jabatan notaris selain yang dimaksud dalam pasal 15 peraturan menteri?

Dalam pasal 15 sudah diatur dengan tegas dan limitatif bahwa teraan cap/stempel jabatan notaris digunakan pada minuta akta, akta originali, salinan akta, kutipan akta grosse akta, surat di bawah tangan, dan surat-surat resmi yang berhubungan dengan pelaksanaan tugas jabatan Notaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014). Kebiasaan menggunakan cap/stempel jabatan notaris selain yang telah diatur harus segera ditinggalkan, penggunaan cap/stempel jabatan notaris janganlah digunakan secara serampangan, apalagi digunakan dalam kwitansi pembayaran, hal ini akan menimbulkan persepsi negatif seolah-olah lambang negara digunakan untuk hal yang bertendensi komersial, meskipun mengenai honorarium notaris telah diatur dalam Undang-Undang Jabatan Notaris. Kewajiban seorang notaris adalah menjaga harkat, martabat, kehormatan dan kewibaan jabatan notaris, maka sebaiknya pula untuk mengimplementasikan kewajiban itu, notaris harus bijak dalam penggunan cap/stempel jabatan notaris.

 

Apa dasar hukum cap/stempel kantor notaris, cap/stempel fotokopi sesuai asli, dan cap/stempel lain yang berkaitan dengan kewenangan notaris ?

Dalam peraturan menteri ini hanya mengatur mengenai cap/stempel jabatan notaris, yaitu yang memuat lambang negara Republik Indonesia. Lalu bagaimana dengan cap/stempel kantor notaris, cap/stempel fotokopi sesuai asli, dan cap/stempel lain yang berkaitan dengan kewenangan notaris?. Tentu saja cap/stempel lainnya tidak memiliki dasar hukum yang khusus mengatur mengenai itu. Penggunaan cap/stempel lainnya semata-mata hanyalah untuk memudahkan notaris terkait dengan pelaksanaan kewenangannya sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 agar dalam pembuatan redaksi yang sejatinya menggunakan perangkat elektronik atau  mesin ketik tidak dilakukan berulang-ulang. Dalam praktik notaris, cap/stempel lainnya terdapat keberagaman bentuk, redaksi dan warna. Bentuk dan redaksi cap/stempel lainnya dikembalikan kepada pemahaman masing-masing notaris dalam menafsirkan kewenangan notaris. Tapi bagaimana dengan warna cap/stempel lainnya?, apakah harus berwarna merah layaknya cap/stempel jabatan notaris yang diatur dengan peraturan menteri?. Apakah harus berwarna hitam? karena cap/stempel lainnya hanya untuk memudahkan notaris menuliskan redaksi yang sejatinya menggunakan perangkat elektronik atau mesin ketik yang ditulis dengan tinta berwarna hitam. Apakah berwarna biru? agar kontras antara cap/stempel jabatan notaris, cap/stempel lainnya, dan tulisan dalam surat. Keadaan inilah yang seharusnya diharmoniskan, baik oleh organisasi notaris maupun otoritas. Selama belum ada aturan yang khusus mengatur mengenai itu, maka keberagaman bentuk cap/stempel lainnya akan terus berlanjut. Diharapkan kepada notaris yang baru diangkat tidak hanya sekedar meniru cap/stempel lainnya dari notaris terdahulu. Dibutuhkan suatu keberanian untuk mengharmoniskan perbedaan-perbedaan diantara notaris, salah satunya adalah membuat warna cap/stempel lainnya sesuai pelaksanaan kewenangan notaris dalam pembuatan akta otentik, yaitu berwarna hitam. Karena hakikatnya penggunanaan cap/stempel lainnya semata-mata hanyalah untuk memudahkan notaris dalam penulisan redaksi. Akhir kata, alangkah baiknya apabila aturan mengenai cap/stempel lainnya segera dibuat oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, sebagai langkah untuk mebentuk ketertiban dan kepastian hukum.

PARATE EKSEKUSI DAN TITEL EKSEKUTORIAL DALAM LEMBAGA JAMINAN KEBENDAAN

Parate eksekusi maupun eksekusi grosse akta merupakan dua lembaga eksekusi jaminan kebendaan yang masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda, namun demikian pada prinsipnya keduanya memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk memberikan fasilitas dan kemudahan kepada para kreditor pemegang jaminan kebendaan untuk mengambil pelunasan atas piutangnya. Dua lembaga tersebut masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan tergantung dari sudut pandang mana kita melihatnya. Kekacauan yang selama ini terjadi menyangkut tumpang tindih pengertian antara parate eksekusi dan eksekusi grosse akta harus segera mendapat penyelesaian secara hukum baik dalam tatanan normatif maupun aplikatif agar tidak menghambat proses pemberian kredit dan pembiayaan yang dilakukan oleh lembaga perbankan kepada para pelaku usaha.

Kepastian dan kejelasan hukum secara normatif akan sangat penting, bukan hanya bagi para pelaku perjanjian (kreditor-debitor) namun juga sangat dibutuhkan oleh para petugas lelang yang akan melaksanakan penjualan umum atas permintaan para pemegang jaminan, sehingga lembaga parate eksekusi dapat dihidupkan kembali, dengan tetap berpedoman pada prinsip itikad baik (te goede trouw) dari semua pihak terutama kreditur selaku pemegang jaminan dan jika dalam pelaksanaannya ternyata menyimpang dari ketentuan yang berlaku sebagaimana dikhawatirkan oleh banyak pihak, maka hal itu akan masuk menjadi ranah pengadilan.

Titel eksekutorial yang berbunyi “Demi Ketuhanan Yang Maha Esa” memang merupakan simbol bahwa suatu dokumen atau naskah tersebut memiliki kekuatan untuk dilaksanakan secara paksa oleh kekuatan aparatur negara. Dokumen atau naskah tersebut bisa dalam bentuk putusan hakim, sertifikat hak tanggungan, sertifikat fidusia, surat pernyataan bersama yang dibuat oleh PUPN, maupun grosse akta pengakuan utang. Beberapa dokumen tersebut memberikan wewenang kepada pemegangnya untuk melakukan upaya pelunasan secara paksa baik dengan bantuan pengadilan maupun lembaga lainnya dengan cara melakukan pelelangan atas barang jaminan.

Banyak anggapan diantara para sarjana (termasuk juga para pembentuk undang-undang) bahwa parate eksekusi dijalankan berdasarkan titel eksekutorial yang tercantum dalam grosse akta hipotek atau sertifikat hak tanggungan/fidusia, padahal pemahaman seperti itu jelas sangat keliru, karena kekuatan untuk melaksanakan parate eksekusi bukan didasarkan atas titel eksekutorial melainkan didasarkan pada kuasa mutlak yang diberikan oleh si pemberi jaminan (debitor) kepada pemegang jaminan (kreditor) secara mandat, buktinya pada jaminan gadai meskipun tanpa titel eksekutorial kreditor (penerima gadai) tetap dapat dilakukan pelelangan dengan prinsip parate eksekusi pada saat batas waktu penebusan atau pembayaran prestasi pemberi gadai telah terlewati. Artinya bahwa ada atau tidaknya titel eksekutorial tidak berhubungan dengan kewenangan kreditor pertama (kreditor separatis) untuk melakukan penjualan atas kekuasaannya sendiri (parate eksekusi).

Undang-undang telah memberikan wewenang kepada para pihak untuk memperjanjikan adanya kewenangan dalam melakukan penjualan objek jaminan atas kekuasaannya sendiri terhadap jaminan-jaminan kebendaan seperti hak tanggungan, fidusia dan gadai, yang pada umumnya juga melekat juga titel eksekutorial dalam jaminan kebendaannya (kecuali gadai), sehingga banyak orang tersesat dan tidak memahami bahwa sebenarnya parate eksekusi tidak memiliki kaitan dengan kekuatan suatu titel eksekutorial. Hal ini memicu munculnya anggapan yang keliru bahwa segala bentuk dan cara pelunasan utang yang dijamin dengan jaminan kebendaan selalu harus dikaitkan dengan titel eksekutorial dibawah kekuasaan ketua pengadilan.

Dalam ketentuan undang-undang, baik undang-undang hak tanggungan maupun undang-undang fidusia terutama pada bagian bab eksekusi telah dirumuskan secara terpisah antara eksekusi dengan menggunakan titel eksekutorial berdasarkan sertifikat jaminan dengan eksekusi berdasarkan hak untuk melakukan penjualan atas kekuasaan sendiri. Jadi sebenarnya aturan hukum yang ada sudah cukup jelas, dan mengenai keragu-raguan selama ini karena adanya pendapat bahwa pelaksanaan penjualan umum objek jaminan tanpa fiat ketua pengadilan negeri adalah suatu perbuatan melawan hukum harus dikesampingkan apalagi dengan adanya beberapa Surat Edaran Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN) No. SE-21/PN/1998 jo. SE-23/PN/2000 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan Nomor 4 Tahun 1996, maka lembaga parate eksekusi seharusnya dapat dihidupkan kembali untuk membantu mengatasi masalah kredit macet dalam dunia perbankan.

 

Sumber referensi :

J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan, buku I, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, dalam D.Y. Witanto, Hukum Jaminan Fidusia dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen (Aspek Perikatan, Pendaftaran, dan Eksekusi), Mandar Maju, Bandung, 2015.

D.Y. Witanto. 2015. Hukum Jaminan Fidusia dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen (Aspek Perikatan, Pendaftaran, dan Eksekusi), Bandung : Mandar Maju.

 

LANGKAH DASAR MEMBUAT AKTA PENDIRIAN YAYASAN

Dasar Hukum :

1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan;

2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan;

3) Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Tentang Yayasan;

4) Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Undang-Undang tentang Yayasan;

5) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.HH-01.AH.01.01 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pengumuman Yayasan Dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia;

6) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.HH-02.AH.01.01 Tahun 2011 tentang Daftar Yayasan;

7) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 2 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan Pengesahan Badan Hukum Dan Persetujuan Perubahan Anggaran Dasar Serta Penyampaian Pemberitahuan Perubahan Anggaran Dasar Dan Perubahan Data Yayasan;

8) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 18 Tahun 2017 tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan Penggabungan Dan Pemberitahuan Berakhirnya Status Badan Hukum Yayasan.

 

Pengertian Yayasan :

Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota.

(Pasal 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan)

 

Syarat Pendirian Yayasan  :

  1. KTP – pendiri, pembina, pengurus, dan pengawas;
  2. NPWP – pendiri, pembina, pengurus, dan pengawas;
  3. Paspor/KITAS/KITAP – apabila terdapat orang asing;
  4. Harta kekayaan yang dipisahkan (minimal Rp. 10.000.000,00);
  5. Nama yayasan (minimal 1 suku kata, setiap kata minimal 3 huruf) dan jika dikehendaki dapat ditambah singkatan nama yayasan;
  6. Tempat kedudukan yayasan (kabupaten/kota di seluruh wilayah Indonesia);
  7. Maksud dan Tujuan (sosial/kemanusiaan/keagamaan);
  8. Kegiatan (1. bidang sosial terdiri dari : 1.a) lembaga formal dan nonformal; 1.b) panti asuhan, panti jompo dan panti werda; 1.c) rumah sakit, poliklinik dan laboratorium; 1.d) pembinaan olahraga; 1.e) penelitian di bidang ilmu pengetahuan; dan 1.f) studi banding; 2. bidang kemanusiaan terdiri dari : 2.a) memberi bantuan kepada korban bencana alam; 2.b) memberikan bantuan kepada pengungsi akibat perang; 2.c) memberi bantuan kepada tuna wisma, fakir miskin dan gelandangan; 2.d) memberikan perlindungan konsumen; dan 2.e) melestarikan lingkungan hidup; 3. bidang keagamaan terdiri dari : 3.a) mendirikan sarana ibadah; 3.b) menyelenggarakan pondok pesantren dan sarana ibadah; 3.c) menerima dan menyalurkan amal zakat, infaq dan sedekah; 3.d) meningkatkan pemahaman keagamaan; 3.e) melaksanakan syiar keagamaan; dan 3.f) studi banding keagamaan) – tidak bersifat limitatif dalam menjalankan kegiatan lain yang berkaitan dengan maksud dan tujuan yayasan;
  9. Jangka waktu pendirian (tertentu/tidak tertentu);
  10. Susunan pembina (jika lebih dari seorang, maka salah seorang harus diangkat sebagai ketua), pengurus (ketua, sekretaris dan bendahara), dan pengawas (jika lebih dari seorang, maka salah seorang harus diangkat sebagai ketua);
  11. Surat pernyataan setor harta kekayaan yang dipisahkan;
  12. Surat pernyataan tidak sedang dalam sengketa kepengurusan dan tidak sedang dalam berperkara di pengadilan;
  13. Surat kuasa pendirian bila dikuasakan (di bawah tangan/notariil);
  14. Surat keterangan domisili yayasan / pernyataan keteramgan domisili yayasan;
  15. NPWP badan.

 

Tata cara pengajuan pendaftaran pengesahan yayasan  :

Langkah 1 : pesan nama yayasan secara online (https://ahu.go.id)

  1. Pesan nama yayasan dikenakan biaya penerimaan negara bukan pajak (PNBP);
  2. Cetak voucher kode pembayaran pesan nama yayasan;
  3. lakukan pembayaran di bank persepsi (BNI – Bank Negara Indonesia);
  4. Nama yayasan yang telah disiapkan ditulis dalam kolom “nama yayasan yang diinginkan”, kemudian apabila ada, singkatan ditulis dalam kolom “singkatan yayasan yang diinginkan”;
  5. Cetak persetujuan pesan nama yayasan

Langkah 2 : membuat akta pendirian yayasan

Langkah 3 : akad di hadapan notaris

  1. Penandatanganan para pendiri pada akta pendirian yayasan yang telah dibuat;
  2. penandatanganan dan pembubuhan cap sidik jari pada daftar hadir yang telah disiapkan bagi pihak yang hadir dalam penandatanganan akta pendirian yayasan;
  3. penandatanganan para pendiri dan segenap kepengurusan pada surat pernyataan tidak dalam sengketa kepengurusan dan tidak sedang berperkara di pengadilan;
  4. penandatangan para pendiri dan segenap kepengurusan pada surat pernyataan keterangan domisili.

Langkah 4 : setelah akad

  1. membuat salinan akta pendirian yayasan;
  2. scan salinan akt dalam bentuk file pdf untuk kepentingan pengaksesan data yayasan secara online;
  3. Berdasarkan salinan yang telah diserahkan kepada pengurus yayasan, kemudian pengurus yayasan membuat surat keterangan domisili dari lurah diketahui camat;
  4. Setelah keterangan domisili diperoleh, berdasarkan salinan akta pendirian yayasan dan surat keterangan domisili, kemudian pengurus yayasan membuat nomor pokok wajib pajak (NPWP) badan atas nama yayasan di kantor pelayanan pajak tempat domisili yayasan.

Langkah 5 : pengaksesan data yayasan secara online (https://ahu.go.id)

  1. Memesan voucher “pengesahan akta pendirian yayasan”;
  2. Membayar voucher “pengesahan akta pendirian yayasan” di bank persepsi;
  3. Tulis nomor voucher pengesahan di kolom “nomor voucher pengesahan akta pendirian yayasan”, tulis nomor voucher pesan nama di kolom “nomor pemesanan nama”;
  4. Mengisi format pengisian data yayasan;
  5. Lakukan pratinjau pengisian format data yayasan;

Langkah 6 : pratinjau, upload salinan akta dalam bentuk pdf, dan cetak surat keputusan menteri

  1. Memeriksa data dalam akta pendirian yayasan dengan data yang telah diakses berdasarkan pratinjau yang telah dicetak;
  2. Apabila akta pendirian yayasan telah sesuai dengan data yang telah diakses, selanjutnya upload salinan akta pendirian dalam bentuk pdf;
  3. Cetak surat keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.

Langkah 7 : Berita Negara dan Tambahan Berita Negara (BN/TBN)

  1. Mengunduh voucher pembayaran BN/TBNRI di AHU, kemudian membayar di bank persepsi.
  2. Menyampaikan salinan akta pendirian yayasan (dalam bentuk word);
  3. Menyampaikan surat keputusan menteri mengenai pendirian yayasan (file hasil download dari AHU);
  4. Menyampaikan perintah bayar BN/TBNRI hasil download dari AHU dan bukti bayar asli BN/TBNRI;
  5. Menyampaikan surat pernyataan notaris bahwa salinan akta pendirian yayasan dalam bentuk word sama dengan asli aktanya, bermeterai dan distempel jabatan notaris;
  6. Menyampaikan alamat kantor dan nomor telepon kantor notaris;
  7. Semuanya di scan, kemudian softcopy dikirim ke alamat email bntbn@pnri.co.id;
  8. Berikut dokumen fisik, dikirim ke Perum Percetakan Negara Republik Indonesia, Jalan Percetakan Negara nomor 21, Jakarta Pusat 10560, Telepon (021) 4221701 –  05, fax (021) 4207251.
  9. BN/TBNRI yang telah terbit akan dikirim oleh PNRI ke alamat kantor notaris.

Langkah 8 : perizinan (dilakukan oleh pengurus yayasan)

  1. MenyaMembuat surat tanda daftar yayasan dari kepala dinas / instansi yang terkait dengan maksud dan tujuan yayasan;
  2. Mengurus izin gangguan dan HO dari kepala dinas / instansi pelayanan terpadu satu pintu.

 

 

 

AGUNAN YANG DIAMBIL ALIH (AYDA) BESERTA PERAN NOTARIS YANG MELINGKUPINYA

Berdasarkan PBI No. 14/15/PBI/2012, salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh bank, yaitu dengan cara Agunan Yang Diambil Alih (AYDA). AYDA berdasarkan Pasal 1 angka 15 PBI No. 14/15/PBI/2012 adalah aset yang diperoleh bank, baik melalui pelelangan maupun di luar pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik agunan atau berdasarkan kuasa untuk menjual di luar lelang dari pemilik agunan dalam hal debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada bank. Agunan yang digunakan sebagai objek jaminan kredit wajib : 1) dilengkapi dengan dokumen hukum yang sah; 2) diikat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga memberikan hak preferensi bagi Bank; dan 3) dilindungi asuransi dengan banker’s clause yang memiliki jangka waktu paling kurang sama dengan jangka waktu pengikatan agunan.

Dalam Undang-Undang Perbankan telah diatur tentang kemungkinan bank dapat menjadi pembeli agunan dalam rangka penyelesaian kredit bermasalah, yaitu pada Pasal 12A Undang-Undang Perbankan : a) Bank umum dapat membeli sebagian atau seluruh agunan, baik melalui pelelangan maupun di luar pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik agunan atau berdasarkan kuasa untuk menjual di luar lelang dari pemilik agunan dalam hal nasabah debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada bank, dengan ketentuan agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan secepatnya; b) Ketentuan mengenai tata cara pembelian agunan dan pencairannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Pada penjelasan Pasal 12A disebutkan bahwa pembelian agunan oleh bank melalui pelelangan dimaksudkan untuk membantu bank agar dapat mempercepat penyelesaian kewajiban nasabah debiturnya. Dalam hal bank sebagai pembeli agunan nasabah debiturnya, status bank adalah sama dengan pembeli bukan bank lainnya. Bank dimungkinkan membeli agunan di luar pelelangan dimaksudkan agar dapat mempercepat penyelesaian kewajiban nasabah debiturnya. Bank tidak diperbolehkan memiliki agunan yang dibelinya dan secepat-cepatnya harus dijual kembali agar hasil penjualan agunan dapat segera dimanfaatkan oleh bank. Pokok-pokok ketentuan yang diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah memuat, antara lain : 1) Agunan yang dapat dibeli oleh bank adalah agunan yang kreditnya telah dikategorikan macet selama jangka waktu tertentu; 2) Agunan yang telah dibeli wajib dicairkan selambat-lambatnya dalam jangka waktu satu tahun; 3) Dalam jangka waktu satu tahun, bank dapat menangguhkan kewajiban-kewajiban berkaitan dengan pengalihan hak atas agunan yang bersangkutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Berdasarkan penjelasan Pasal 12A Undang-Undang Perbankan bahwa bank dimungkinkan membeli agunan baik melalui pelelangan maupun di luar pelelangan dimaksudkan agar dapat mempercepat penyelesaian kewajiban nasabah debiturnya. Akan tetapi, pembelian tersebut bukan bermaksud untuk memiliki agunan tersebut karena ada ketentuan bahwa agunan yang telah dibeli wajib dicairkan selambat-lambatnya dalam jangka waktu satu tahun atau bank secepatnya harus menjual kembali agunan tersebut agar dapat segera dimanfaatkan oleh bank. Pada Pasal 78 Peraturan Pemerintah Nomor 27/PMK.06/2016 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang bahwa : 1) Bank sebagai kreditur dapat membeli agunannya melalui lelang, dengan ketentuan menyampaikan surat pernyataan dalam bentuk akta notaris, bahwa pembelian tersebut dilakukan untuk pihak lain yang akan ditunjuk kemudian dalam jangka waktu 1 (satu) tahun terhitung mulai tanggal pelaksanaan lelang, sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; 2) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah terlampaui, bank ditetapkan sebagai pembeli.

Berdasarkan Pasal 78 Peraturan Pemerintah Nomor 27/PMK.06/2016 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang bahwa bilamana bank sebagai pembeli agunan melalui pelelangan, maka bank harus membuat surat pernyataan dalam bentuk akta notaris yang menyatakan bahwa pembelian tersebut dilakukan untuk pihak lain yang akan ditunjuk kemudian dalam jangka waktu 1 (satu) tahun terhitung mulai tanggal pelaksanaan lelang sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Dalam hal jangka waktu 1 tahun telah terlampaui, maka bank ditetapkan sebagai pembeli.

Bilamana agunan berupa hak atas tanah, maka harus mengacu pada Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah, bahwa Badan-badan hukum yang disebut di bawah ini dapat mempunyai hak milik atas tanah, masing-masing dengan pembatasan yang disebutkan pada Pasal 2,3 dan 4  peraturan ini : 1) Bank-bank yang didirikan oleh negara (selanjutnya disebut bank negara); 2) Perkumpulan-perkumpulan Koperasi Pertanian yang didirikan berdasarkan atas Undang-Undang No. 79 Tahun 1958 (Lembaran Negara Tahun 1958 No. 139); 3) Badan-badan keagamaan, yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria, setelah mendengar Menteri Agama; 4) Badan-badan sosial, yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria, setelah mendengar Menteri Kesejahteraan Sosial.

Maka, bank yang dapat memiliki hak milik atas tanah hanyalah bank-bank yang didirikan oleh negara (disebut dengan bank negara), sehingga bank milik swasta tidak diperbolehkan memiliki hak atas tanah. Oleh karena itu, ketentuan Pasal 78 Peraturan Pemerintah Nomor 27/PMK.06/2016 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang hanya dimungkinkan bagi bank negara sebagai pemilik hak atas tanah, bank milik swasta tidak dimungkinkan sebagai pemilik hak atas tanah yang berstatus hak milik. Akan tetapi, bank milik swasta diperbolehkan untuk memiliki Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Tanah.

 

Sumber Referensi :

DR. Trisadini P. Usanti dan Prof. DR. Abd. Shomad. 2017. Hukum Perbankan. Depok : Kencana.

Bentuk Sampul Salinan, Kutipan dan Grosse Akta Notaris : Suatu Inspirasi

Berdasarkan pasal 15 ayat 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, kewenangan  Notaris yaitu membuat akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, memberikan salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.

Salinan, Kutipan dan Grosse (selanjutnya hanya disebut salinan) akta notaris biasanya disampul menggunakan kertas khusus yang dipersiapkan untuk itu. Tujuannya untuk menjamin salinan akta tetap bersih, awet dan rapi. Bentuk sampul salinan akta notaris sampai saat ini masih belum ada keseragaman. Para notaris berbeda dalam menentukan bentuknya. Mulai dari warna latar, warna, bentuk dan ukuran tulisan, ada yang menggunakan lambang burung garuda dan ada yang tidak, keterangan-keterangan yang dimuat, bahkan sampul salinan akta notaris juga memuat keterangan mengenai jabatan pejabat pembuat akta tanah beserta nomor surat keputusan pengangkatannya, padahal antara notaris dan pejabat pembuat akta tanah merupakan jabatan yang berbeda. Hal ini berlangsung terus menerus dan seolah-olah diwariskan dari notaris terdahulu.

Bentuk salinan akta notaris memang belum ada pengaturannya dalam peraturan perundang-undangan, namun bukan berarti para notaris dibenarkan bersikap tak acuh dengan keadaan tersebut, karena berpotensi menimbulkan kebingungan di tengah masyarakat. Potensi stigma disparitas finansial diantara notaris akibat penilaian masyarakat terhadap kualitas sampul salinan akta notaris sehingga memicu polemik diantara notaris. Bahkan yang lebih mengkhawatirkan, potensi stigma masyarakat bahwa kekuatan pembuktian akta autentik dinilai dari kualitas sampul salinan akta notaris. Hal-hal ini tidak boleh terus menerus berlangsung.

Berbeda halnya dengan sampul salinan akta notaris, untuk sampul salinan akta pejabat pembuat akta tanah (selanjutnya disingkat PPAT) diatur dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional  Nomor 8 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Negara Agraria /  Kepala Badan Pertanahan Nomor 3 Tahun 1997 (selanjutnya hanya dsingkat Perkaban). Dalam Perkaban di bagian lampiran masing-masing akta peralihan hak atas tanah, dituliskan spesifikasi sampul akta yaitu 1) jenis kertas sampul adalah jenis kertas karton (contoh : BW/BC/TIK), 150 s/d 250 gr; 2) ukuran kertas sampul 29,7 cm x 42 cm (A3); 3) sampul berwarna putih; 4) sampul depan diberikan kop PPAT dan ditulis judul masing-masing akta peralihan hak atas tanah; 5) penulisan judul akta dengan huruf Bookman Old Style, ukuran 28 dan warna hitam; dan 6) tinta yang dipergunakan berwarna hitam dan tidak mudah luntur.

Dalam sistem hukum civil law, ajaran legisme sangat dominan, dimana penerapan suatu aturan hukum harus terlebih dahulu dibuat dalam bentuk hukum tertulis. Apabila terdapat suatu hal yang ingin diatur, namun belum dibuat dalam bentuk hukum tertulis, maka dalam persepektif hukum positif hal itu tidak memiliki kekuatan mengikat sehingga tidak dapat dipaksakan. Sistem hukum dan ajaran yang dianut di Indonesia ini rentan terjadi kekosongan hukum, karena hukum tertulis yang ada, tidak dapat mengikuti perkembangan perbuatan dan peristiwa hukum yang terjadi di masyarakat. Sebagai solusi dari kekosongan hukum, para iuris melakukan penemuan hukum. Terdapat beberapa doktrin mengenai penemuan hukum. Penulis menganut paham yang membagi penemuan hukum menjadi 2 metode yaitu 1) penafsiran hukum; dan 2) konstruksi hukum. Penafsiran hukum terbagi menjadi 5 metode yaitu 1) penafsiran otentik; 2) penafsiran gramatikal; 3) penafsiran sosiologis/teleologis; 4) penafsiran sistematis; 5) penafsiran historis. Konstruksi hukum terbagi menjadi 3 metode yaitu 1) analogi; 2) penghalusan hukum; 3) argumentum a contrario.

Untuk menjawab kekosongan hukum mengenai peraturan bentuk sampul akta notaris, penulis akan menganalisa menggunakan metode konstruksi analogis yaitu menerapkan suatu peraturan yang mengatur suatu perbuatan tertentu untuk diterapkan layaknya mengatur pula suatu perbuatan lain yang sesungguhnya tidak ada peraturannya. Metode penemuan hukum analogis ini dilarang untuk diterapkan pada ranah hukum pidana, namun tidak dilarang pada ranah hukum lainnya. Oleh karena itu, tidak dilarang penggunaannya untuk menjawab kekosongan hukum peraturan sampul akta notaris.

Bagaimana analogi akan menjawab kekosongan hukum tersebut ?

Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentan Peraturan Pejabat Pembuat Akta Tanah,  definisi PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun.

Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, definisi notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang atau berdasarkan undang-undang lainnya.

Dari definisi notaris dan PPAT, diketahui bahwa keduanya memiliki irisan sebagai pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik atas suatu perbuatan hukum tertentu. Oleh karena itu, seyogyanya apabila diantara 2 jabatan ini dalam pelaksanaan jabatannya terdapat suatu kekosongan hukum, maka peraturan diantara keduanya bisa saling menginspirasi berdasarkan analogi, iya hanya sebatas inspirasi, sepanjang tidak bertentangan dengan aturan hukum lainnya. Lalu mengapa mesti PPAT bukankah pejabat pembuat akta autentik bukan hanya notaris dan PPAT ? Hal ini karena pejabat notaris dan pejabat PPAT pada umumnya dirangkap oleh orang yang sama sehingga mengharmonisasikan berbagai aturan terhadap suatu perbuatan tertentu untuk menjadi inspirasi bagi perbuatan yang lain dalam satu pemikiran sangat mungkin diwujudkan.

Peraturan bentuk sampul akta PPAT dalam perkaban digunakan sebagai inspirasi terhadap bentuk sampul salinan akta notaris sehingga menjamin suatu bentuk salinan akta notaris yang sama diantara notaris. Dengan demikian spesifikasi sampul salinan akta notaris setelah diharmoniskan dengan perkaban yaitu 1) jenis kertas sampul adalah jenis kertas karton (contoh : BW/BC/TIK), 150 s/d 250 gr; 2) ukuran kertas sampul 29,7 cm x 42 cm (A3); 3) sampul berwarna putih; 4) sampul depan diberikan kop Notaris dan ditulis judul, nomor, dan tanggal akta; 5) penulisan judul akta dengan huruf Bookman Old Style, ukuran 28 dan warna hitam; dan 6) tinta yang dipergunakan berwarna hitam dan tidak mudah luntur.

Melalui penulisan ini, penulis berharap menjadi pertimbangan bagi otoritas untuk membuat suatu kebijakan yang mengatur bentuk sampul salinan akta notaris agar  terbentuk suatu keseragaman, harmonisasi, konsistensi, ketertiban, dan kepastian bentuk salinan akta notaris. Selain itu juga, menciptakan suatu kondisi ideal, sehingga masyarakat tidak lagi mengalami kebingungan dan keresahan. Juga kepada para notaris, khususnya bagi notaris yang baru diangkat karena masih mencari bentuk ideal manajemen kantor notaris yang baik, selama masih terjadi kekosongan hukum, sesungguhnya inspirasi untuk membuat sampul salinan akta terdapat dalam perkaban, marilah berkomitmen untuk membentuk suatu keseragaman bentuk sampul salinan akta dan jangan hanya mewariskan bentuk sampul salinan akta dari notaris terdahulu yang berbeda-beda satu sama lainnya.

Fakta Notoir

Dalam suatu proses perdata, salah satu tugas hakim adalah untuk menyelidiki apakah suatu hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan benar-benar ada atau tidak. Adanya hubungan  hukum inilah yang harus terbukti apabila penggugat menginginkan kemenangan dalam suatu perkara. Apabila penggugat tidak berhasil untuk membuktikan dalil-dalilnya yang menjadi dasar gugatnya, maka gugatannya akan ditolak, sedangkan apabila berhasil, gugatannya akan dikabulkan.

Tidak semua dalil yang menjadi dasar gugatan harus dibuktikan kebenarannya, sebab dalil-dalil yang tidak disangkal, apalagi diakui sepenuhnya oleh pihak lawan, tidak perlu dibuktikan lagi. Dalam soal pembuktian tidak selalu pihak penggugat saja yang harus membuktikan dalilnya. Hakim yang memeriksa perkara itu akan menentukan siapa diantara pihak-pihak yang berperkara akan diwajibkan untuk memberikan bukti, apakah itu pihak penggugat atau sebaliknya, yaitu pihak tergugat. Dengan perkataan lain hakim sendiri yang menentukan pihak yang mana akan memikul beban pembuktian.

Di dalam soal menjatuhkan beban pembuktian, hakim harus bertindak arif dan bijaksana, serta tidak boleh berat sebelah. Semua peristiwan dan keadaan yang konkrit harus diperhatikan secara seksama olehnya.

Selain untuk hal-hal yang telah diakui atau setidak-tidaknya tidak disangkal, masih terdapat satu hal lagi yang tidak harus dibuktikan, ialah berupa hal-hal atau keadaan-keadaan yang telah diketahui oleh khalayak ramai. Hal yang disebut terakhir ini dalam hukum acara perdata disebut fakta notoir. Adalah sudah diketahui oleh khalayak ramai, sudah merupakan pengetahuan umum, merupakan fakta notoir, bahwa pada hari minggu semua kantor-kantor pemerintah tutup. Dan bahwa harga tanah di kota, terutama di Jakarta, lebih mahal daripada harga tanah di desa. Faktor notoir merupakan hal atau keadaan yang sudah diketahui pula sendiri oleh hakim.

Menurut Prof.Mr.A. Pitlo dalam bukunya “BEWIJS EN VERJARING NAAR HET NEDERLANDS BURGERLIJK WETBOEK”, penerbit H.D. Tjeenk Willink & Zoon N.V., 1953, hal. 16, mengatakan bahwa tidaklah termasuk dalam “notoire feiten” itu peristiwa-peristiwa yang secara kebetulan diketahui oleh hakim yang bersangkutan. atau ia menyaksikannya ketika terjadi atau hakim yang bersangkutan mempunyai keahlian perihal suatu kejadian/keadaan. Pendapat itu dapat dibenarkan, karena hal-hal semacam itu sukar untuk dimasukkan dalam golongan “diketahui umum”. Dalam hal timbul perselisihan-perselisihan hal-hal semacam itu masih harus dibuktikan. Demikian pula pendapat Prof.R. Soekardono S.H., seorang hakim yang sangat berpengalaman, dalam karangannya “PENGGUNAAN UPAYA-UPAYA PEMBUKTIAN DALAM PROSEDURE PERDATA”, majalah Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (LPHN), 1971 No. 12 hal. 49.

Ditilik dari apa yang telah diuraikan di atas ternyata, bahwa soal membuktikan suatu peristiwa, mengenai adanya suatu hubungan hukum, adalah suatu cara untuk meyakinkan hakim akan kebenaran dalil-dalil yang menjadi dasar gugat, atau dalil-dalil yang dipergunakan untuk menyangkal tentang kebenaran dalil-dalil yang telah dikemukakan oleh pihak lawan.

Berbeda dengan azas yang terdapat dalam hukum acara pidana, dimana seorang tidak bisa dipersalahkan telah melakukan tindak pidana, kecuali apabila berdasarkan bukti-bukti yang sah hakim memperoleh keyakinan tentang kesalahan terdakwa, dalam hukum acara perdata untuk memenangkan seseorang, tidak perlu adanya keyakinan hakim. Yang penting adalah adanya alat-alat bukti yang sah, dan berdasarkan alat-alat bukti tersebut hakim akan mengambil keputusan siapa yang menang dan siapa yang kalah. Dengan perkataan lain, dalam hukum acara perdata, cukup dengan kebenaran formil saja.

Sumber Referensi :

Retnowulan Sutanto dan Iskandar Oeripkartawinata, 2005, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktik, Cetakan ke 10, Bandung : CV. Mandar Maju.

Signifikasi Perjanjian Dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1074 K/Pdt/1995 & Putusan Mahkamah Agung Nomor 1904 K/Sip/1982

Tiap perjanjian tersebut mempunyai pengertian dan ciri tersendiri sebagai pembeda antara perjanjian-perjanjian yang ada. Adanya pengertian dan ciri yang berbeda tersebut merupakan suatu signifikasi batas tiap perjanjian.

Dalam praktik ditemukan perjanjian-perjanjian tertentu, tetapi ketika terjadi sengketa, ternyata maksudnya menjadi berbeda. Misalnya, dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1074 K/Pdt/1995 bahwa perjanjian utang-piutang dengan jaminan tanah tidak dapat digantikan menjadi perjanjian jual beli tanah jaminan apabila tidak ada kesepakatan mengenai harga tanah tersebut. Pada awal perjanjiannya adalah utang-piutang dengan jaminan tanah, tetapi berhubung pihak yang berutang tidak sanggup membayarnya, maka ditindaklanjuti dengan menjadi jual beli. Artinya, tanah jaminan tersebut menjadi objek jual beli sebagai bentuk pelunasan utang dan hal tersebut tidak diperbolehkan jika tidak ada kesepakatan mengenai harga tanah tersebut. Untuk lebih tegasnya, jika memang diperjanjikan pinjam-meminjam uang dengan jaminan, harus ditegaskan pada awal perjanjian seperti itu, yaitu pinjam-meminjam uang dengan jaminan tanah. Jangan ketika debitur wanprestasi, barang jaminan tersebut ditindaklanjuti menjadi jual beli. Artinya, yang meminjamkan menjadi berkedudukan sebagai pembeli dan yang meminjam menjadi berkedudukan sebagai penjual. Contoh lainnya terdapat dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 1904 K/Sip/1982 bahwa timbulnya surat kuasa untuk menjual rumah sengketa, baik kepada pihak ketiga maupun kepada dirinya, ternyata berawal dari surat pengakuan utang dengan rumah sengketa sebagai jaminan, maka perjanjian tersebut merupakan perjanjian semua untuk menggantikan perjanjian asli yang merupakan utang-piutang.

 

Sumber Referensi :

DR.Habib Adjie, S.H.,M.Hum., Merajut Pemikiran Dalam Dunia Notaris dan PPAT, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2011.

Bentuk Kekuatan Pembuktian Akta Otentik

          Akta otentik memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna, yang mana berdasarkan bentuknya akta otentik memiliki tiga bentuk kekuatan pembuktian, antara lain :

1. Kekuatan pembuktian lahir (uitwendige bewijskracht).

Suatu naskah yang lahirnya nampak sebagai suatu naskah otentik dan memenuhi syarat-syarat yang ditentukan untuk naskah-naskah semacam itu dianggap sebagai naskah otentik sampai ternyata terbukti sebaliknya. Karenanya beban pembuktian diletakkan pada siapa yang menyangkal  otentisitasnya itu. Tanda tangan dari pejabat yang ada dianggap pasti benar. Baik ilmu hukum maupun praktik peradilan sama-sama sependapat bahwa kekuatan pembuktian lahir dari akta otentik ini berlaku bagi setiap orang dan tidak terbatas pada pihak yang berkepentingan dengan isi dari naskah tersebut. Sebagaimana akan  kita ketahui nanti kekuatan pembuktian lahir seperti ini tidak dimiliki oleh akta di bawah tangan. Sebagai alat bukti, maka kekuatan pembuktian lahir inilah keistimewaan dari akta otentik.

2. Kekuatan pembuktian formil (formele bewijskracht).

Dalam arti formil akta otentik itu membuktikan kebenaran dari apa yang dilihat, didengar dan dikerjakan oleh pejabat umum tersebut. Karenanya yang pasti dianggap benar adalah hari tanggal dari akta itu, tempat dibuatnya akta tersebut, kebenaran dari tanda tangan yang dibubuhkan dibawahnya dan terhadap setiap orang dianggap benar bahwa yang menandatangani itu telah menerangkan segala apa yang tertulis di atas tanda tangannya tetapi jelas bahwa kekuatan pembuktian ini tidak sampai meliputi hal-hal yang tidak bisa ditangkap oleh panca indera sang pejabat itu maupun yang tidak dapat ia menilainya. Dalam suatu akta jual beli umpamanya bagi setiap orang dianggap pasti bahwa pihak-pihak telah menerangkan bahwa mereka telah mengadakan perjanjian jual beli dan pejabat itu telah menerangkan bahwa A dan B itulah yang telah menandatangani akta itu dan akta itu dibuat pada tanggal tersebut. Yang pasti bahwa pejabat itu benar-benar telah menyatakan dalam akta tersebut bahwa ia telah melihat mendengar dan mengerjakan apa yang tertulis dalam akta itu bilamana hal itu meragukan atau ada redaksi (teks) yang tidak jelas maka diperlukan penafsiran.

3. Kekuatan pembuktian materiil (materieel bewijskracht).

Kekuatan pembuktian materiil meliputi bahwa isi dari keterangan tersebut dianggap benar terhadap siapa yang membuat keterangan itu sedangkan terhadap lain-lain pihak kekuatan pembuktiannya adalah bebas.

Sumber referensi :

D.Y. Witanto, Dimensi Kerugian Negara Dalam Hubungan Kontraktual, Suatu Tinjauan Terhadap Risiko Kontrak Dalam Proyek Pengadaan Barang Jasa Instansi Pemerintah, CV. Mandar Maju, Bandung, 2011, dalam D.Y. Witanto, Hukum Jaminan Fidusia Dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen (Aspek Perikatan, Pendaftaran, Dan Eksekusi), CV. Mandar Maju, Bandung, 2015.