Parate eksekusi maupun eksekusi grosse akta merupakan dua lembaga eksekusi jaminan kebendaan yang masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda, namun demikian pada prinsipnya keduanya memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk memberikan fasilitas dan kemudahan kepada para kreditor pemegang jaminan kebendaan untuk mengambil pelunasan atas piutangnya. Dua lembaga tersebut masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan tergantung dari sudut pandang mana kita melihatnya. Kekacauan yang selama ini terjadi menyangkut tumpang tindih pengertian antara parate eksekusi dan eksekusi grosse akta harus segera mendapat penyelesaian secara hukum baik dalam tatanan normatif maupun aplikatif agar tidak menghambat proses pemberian kredit dan pembiayaan yang dilakukan oleh lembaga perbankan kepada para pelaku usaha.

Kepastian dan kejelasan hukum secara normatif akan sangat penting, bukan hanya bagi para pelaku perjanjian (kreditor-debitor) namun juga sangat dibutuhkan oleh para petugas lelang yang akan melaksanakan penjualan umum atas permintaan para pemegang jaminan, sehingga lembaga parate eksekusi dapat dihidupkan kembali, dengan tetap berpedoman pada prinsip itikad baik (te goede trouw) dari semua pihak terutama kreditur selaku pemegang jaminan dan jika dalam pelaksanaannya ternyata menyimpang dari ketentuan yang berlaku sebagaimana dikhawatirkan oleh banyak pihak, maka hal itu akan masuk menjadi ranah pengadilan.

Titel eksekutorial yang berbunyi “Demi Ketuhanan Yang Maha Esa” memang merupakan simbol bahwa suatu dokumen atau naskah tersebut memiliki kekuatan untuk dilaksanakan secara paksa oleh kekuatan aparatur negara. Dokumen atau naskah tersebut bisa dalam bentuk putusan hakim, sertifikat hak tanggungan, sertifikat fidusia, surat pernyataan bersama yang dibuat oleh PUPN, maupun grosse akta pengakuan utang. Beberapa dokumen tersebut memberikan wewenang kepada pemegangnya untuk melakukan upaya pelunasan secara paksa baik dengan bantuan pengadilan maupun lembaga lainnya dengan cara melakukan pelelangan atas barang jaminan.

Banyak anggapan diantara para sarjana (termasuk juga para pembentuk undang-undang) bahwa parate eksekusi dijalankan berdasarkan titel eksekutorial yang tercantum dalam grosse akta hipotek atau sertifikat hak tanggungan/fidusia, padahal pemahaman seperti itu jelas sangat keliru, karena kekuatan untuk melaksanakan parate eksekusi bukan didasarkan atas titel eksekutorial melainkan didasarkan pada kuasa mutlak yang diberikan oleh si pemberi jaminan (debitor) kepada pemegang jaminan (kreditor) secara mandat, buktinya pada jaminan gadai meskipun tanpa titel eksekutorial kreditor (penerima gadai) tetap dapat dilakukan pelelangan dengan prinsip parate eksekusi pada saat batas waktu penebusan atau pembayaran prestasi pemberi gadai telah terlewati. Artinya bahwa ada atau tidaknya titel eksekutorial tidak berhubungan dengan kewenangan kreditor pertama (kreditor separatis) untuk melakukan penjualan atas kekuasaannya sendiri (parate eksekusi).

Undang-undang telah memberikan wewenang kepada para pihak untuk memperjanjikan adanya kewenangan dalam melakukan penjualan objek jaminan atas kekuasaannya sendiri terhadap jaminan-jaminan kebendaan seperti hak tanggungan, fidusia dan gadai, yang pada umumnya juga melekat juga titel eksekutorial dalam jaminan kebendaannya (kecuali gadai), sehingga banyak orang tersesat dan tidak memahami bahwa sebenarnya parate eksekusi tidak memiliki kaitan dengan kekuatan suatu titel eksekutorial. Hal ini memicu munculnya anggapan yang keliru bahwa segala bentuk dan cara pelunasan utang yang dijamin dengan jaminan kebendaan selalu harus dikaitkan dengan titel eksekutorial dibawah kekuasaan ketua pengadilan.

Dalam ketentuan undang-undang, baik undang-undang hak tanggungan maupun undang-undang fidusia terutama pada bagian bab eksekusi telah dirumuskan secara terpisah antara eksekusi dengan menggunakan titel eksekutorial berdasarkan sertifikat jaminan dengan eksekusi berdasarkan hak untuk melakukan penjualan atas kekuasaan sendiri. Jadi sebenarnya aturan hukum yang ada sudah cukup jelas, dan mengenai keragu-raguan selama ini karena adanya pendapat bahwa pelaksanaan penjualan umum objek jaminan tanpa fiat ketua pengadilan negeri adalah suatu perbuatan melawan hukum harus dikesampingkan apalagi dengan adanya beberapa Surat Edaran Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN) No. SE-21/PN/1998 jo. SE-23/PN/2000 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan Nomor 4 Tahun 1996, maka lembaga parate eksekusi seharusnya dapat dihidupkan kembali untuk membantu mengatasi masalah kredit macet dalam dunia perbankan.

 

Sumber referensi :

J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan, buku I, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, dalam D.Y. Witanto, Hukum Jaminan Fidusia dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen (Aspek Perikatan, Pendaftaran, dan Eksekusi), Mandar Maju, Bandung, 2015.

D.Y. Witanto. 2015. Hukum Jaminan Fidusia dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen (Aspek Perikatan, Pendaftaran, dan Eksekusi), Bandung : Mandar Maju.

 

Tinggalkan komentar