Dasar Hukum :

  1. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
  2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun on 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
  3. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
  4. Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

 

A. UKURAN / KRITERIA BADAN ATAU PEJABAT TATA USAHA NEGARA.

Dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 diketahui bahwa ukuran atau kriteria agar suatu badan atau pejabat dapat disebut sebagai badan atau pejabat tata usaha negara adalah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, badan atau pejabat tersebut mempunyai wewenang untuk melaksanakan urusan pemerintahan.

Sebagai akibat dari adanya ukuran atau kriteria tersebut, maka dapat ditentukan bahwa badan hukum perdata, jabatan, atau kedudukan swasta dapat saja bertindak sebagai atau merupakan badan atau pejabat tata usaha negara dengan syarat asal badan hukum perdata, jabatan atau kedudukan swasta tersebut berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku mempunyai wewenang untuk melaksanakan urusan pemerintahan.

 

B. KEBEBASAN BERTINDAK BADAN ATAU PEJABAT TATA USAHA NEGARA MENURUT KEBIJAKSANAANNYA.

Badan atau pejabat tata usaha negara tidak hanya sekedar melaksanakan peraturan perundang-undangan saja karena tidak semua urusan pemerintahan telah diatur oleh peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, agar pelaksanaan urusan pemerintahan yang penting dan mendesak tfvidak sampai terganggu maka kepada badan atau pejabat tata usaha negara diberikan kebebasan bertindak menurut kebijaksanaannya yang dalam bahasa asing disebut freies ermessen (Jerman), Discretionarry (Inggris) atau pouvoir discretionnarre (Prancis), yang jika dirumuskan kebebasan bertindak tersebut adalah kebebasan dari badan atau pejabat tata usaha negara yang dimungkinkan oleh hukum dan yang dapat dipertanggungjawabkan untuk bertindak atas inisiatif sendiri, menyelesaikan urusan pemerintahan yang penting dan mendesak yang belum diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Kebebasan bertindak tersebut bukan kebebasan tanpa dasar hukum tetapi kebebasan yang masih tetap atas dasar hukum atau yang dimungkinkan oleh hukum. Badan atau pejabat tata usaha negara mempunyai kebebasan bertindak menurut kebijaksanaannya sehingga untuk mencegah adanya penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir) atau perbuatan sewenang-wenang (abus de droit) pelaksanaan kebebasan bertindak dari badan atau pejabat tata usaha negara tersebut harus ada batasnya. Batas terhadap pelaksaanaan kebebasan bertindak yang diberikan kepada badan atau pejabat tata usaha negara adalah apa yang disebut sebagai asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Peraturan yang dibuat atau dikeluarkan atas dasar kebebasan bertindak tersebut disebut peraturan kebijaksanaan atau perundang-undangan semu yang dalam bahasa asing disebut beleidsregel, spiegelsrecht, pseudowetgeving (Belanda) atau policy rules (Inggris) yang bentuknya dapat berupa surat keputusan atau keputusan, surat edaran, instruksi, pengumuman atau petunjuk pelaksanaan (Juklak), dan lain-lainnya.

Untuk pembuatan peraturan kebijaksanaan, menurut Van Kreveld, peraturan kebijaksanaan tersebut harus memenuhi beberapa syarat berikut :

  1. Peraturan kebijaksanaan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang mengandung wewenang diskresioner yang menjadi dasar hukum dari peraturan kebijaksanaan yang menjabarkan peraturan perundang-undangan tersebut.
  2. Peraturan kebijaksanaan tidak boleh nyata-nyata bertentangan dengan nalar yang sehat.
  3. Peraturan kebijaksanaan harus dipersiapkan dengan cermat, kalau perlu sebelumnya dimintakan saran teknis dari instansi-instansi yang berwenang, diadakan rembugan dengan pihak-pihak yang tersangkut dengan keputusan tata usaha negara yang bersangkutan. Di samping itu semua kepentingan, keadaan, serta alternatif yang ada perlu dipertimbangkan.
  4. Isi dari kebijaksanaan yang dirumuskan dalam peraturan kebijaksanaan itu harus memberikan kejelasan yang cukup mengenai kewajiban dan hak dari warga yang terkena serta harus ada kepastian mengenai tindakan yang akan dilakukan oleh instansi yang bersangkutan (kepastian hukum formal).
  5. Memang pertimbangan dari peraturan kebijaksanaan demikian itu tidak harus dilakukan secara mendetail. Yang penting asal jelas tujuannya serta dasar pertimbangan mengenai kebijaksanaan yang akan ditempuh.
  6. Peraturan kebijaksanaan harus memenuhi syarat kepastian hukum material, artinya hak-hak yang telah diperoleh dari warga masyarakat yang terkena harus dihormati kemudian juga harapan-harapan yang pantas telah ditimbulkan jangan sampai diingkari.

Sebagai peraturan yang bukan perundang-undangan, peraturan kebijaksanaan tidak langsung mengikat secara hukum, tetapi mengandung relevansi hukum. Peraturan kebijaksanaan pada dasarnya ditujukan kepada badan atau pejabat tata usaha sendiri.

 

C. PERKARA PIDANA TIDAK TERMASUK DALAM RUANG LINGKUP KOMPETENSI PERADILAN TATA USAHA NEGARA.

Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 50 jo Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, dapat diketahui bahwa yang mempunyai wewenang untuk mengadili perkara pidana adalah pengadilan di lingkungan peradilan umum. Oleh karena itu, sudah benar dan tepat bahwa “Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana” tidak termasuk Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, sehingga akibatnya pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara tidak dapat menilai ketiga macam Keputusan Tata Usaha Negara tersebut dari segi penerapan hukumnya, yang dapat menilai dari segi penerapan hukumnya adalah pengadilan di lingkungan peradilan umum. Penjelasan Pasal 2 huruf d Undang-Undang Nomor 5 Tahun on 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sendiri menegaskan bahwa “penilaian dari segi penerapan hukumnya terhadap ketiga macam Keputusan Tata Usaha Negara tersebut dapat dilakukan hanya oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum”.

 

D. KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA YANG DIKELUARKAN ATAS HASIL PEMERIKSAAN BADAN PERADILAN BERDASARKAN KETENTUAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG BERLAKU.

Dari adanya contoh yang terdapat dalam penjelasan Pasal 2 huruf e Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara tersebut terdapat beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian, yaitu sebagai berikut :

  1. Yang dimaksud dengan “hasil pemeriksaan badan peradilan” dalam perumusan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 2 huruf e Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara tersebut adalah hasil pemeriksaan dari penyelenggara kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yaitu Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkunga Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dan Mahkamah Konstitusi.
  2. Jika yang dipergunakan sebagai dasar dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara adalah berupa putusan dari badan peradilan, maka dasar dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara tersebut, dapat berasal atau diambil dari :

a. pertimbangan hukum yang terdapat dalam putusan badan peradilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap, atau

b. amar putusan dari badan peradilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap.

 Dari kasus pemakaian merek dagang “ALTECO” berdasarkan 2 perkara berbeda yang disidangkan namun memiliki relevansi yaitu dengan riwayat putusan :

  1. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusar Nomor 222/Pdt/G/1995;
  2. Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Nomor 088/G.TUN/1997/PTUN.JKT;
  3. Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Nomor 27/13/1998/PT,TUN.JKT

dapat diambil kesimpulan bahwa meskipun putusan badan peradilan yang menjadi dasar dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara itu masih belum mempunyai kekuatan hukum tetap tetapi jika putusan badan peradilan tersebut disertai putusan serta merta (uitvoerbaar bijvooraad), maka Keputusan Tata Usaha Negara yang dimaksud adalah Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf e Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986.

 

E. UNSUR KEPENTINGAN SEBAGAI PENENTU KOMPETENSI PENGGUGAT.

Pasal 53 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 berbunyi :

“Orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan atau rehabilitasi.”

Oleh karena unsur “kepentingan” pada ketentuan yang terdapat dalam Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sangat penting dan menentukan agar seseorang atau badan hukum perdata dapat bertindak sebagai penggugat, maka perlu terlebih dahulu diketahui apa yang dimaksud dengan “kepentingan” pada ketentuan tersebut.

Menurut Indroharto, pengertian kepentingan dalam kaitannya dengan hukum acara tata usaha negara itu mengandung arti, yaitu :

a. menunjuk kepada nilai yang harus dilindungi hukum; dan

b. kepentingan proses, artinya apa yang hendak dicapai dengan melakukan suatu  proses gugatan yang bersangkutan.

Jika diperhatikan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan apa yang dimaksud dengan “kepentingan” dalam ketentuan tersebut, maka sudah sewajarnya jika kemudian Indroharto mengemukakan pendapat bahwa actio popularis tidak berlaku dalam Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara beserta perubahan-perubahannya.

Actio Popularis adalah pengajuan gugatan yang dapat dilakukan oleh setiap orang terhadap adanya perbuatan melawan hukum, dengan mengatasnamakan kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang mengatur adanya prosedur tersebut.

Dengan demikian, menurut Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara beserta perubahan-perubahannya, seseorang atau badan hukum perdata tidak dapat bertindak sebagai penggugat dalam sidang  pengadilan dengan menggunakan prosedur actio popularis.

 

F. KRITERIA TERGUGAT.

Apakah yang menjadi kriteria agar suatu badan atau pejabat memenuhi kriteria sebagai tergugat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara ?

1. Badan Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata.

Kewenangan untuk mengeluarkan keputusan tata usaha negara dimiliki badan tata usaha negara melalui alat perlengkapan badan tata usaha negara yakni suatu jabatan yang ada pada badan tata usaha negara yang dalam kegiatan sehari-hari dilaksanakan oleh pemangku jabatan yang merupakan personifikasi dari jabatan alat perlengkapan badan tata usaha negara.

Sebagai contoh adalah Badan Kepegawaian Negara, yaitu badan yang termasuk lembaga ekstra struktural yang bertanggung jawab kepada presiden dan memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan terhadap banding administratif terhadap penjatuhan hukuman disiplin berupa pemberhentian dengan tidak hormat sebagai pegawai negeri sipil.

Keputusan Badan Kepegawaian Negara tersebut dikeluarkan dan ditandatangani oleh Kepala Badan Kepegawaian Negara sebagai alat perlengkapan dari Badan Kepegawaian Negara. Dengan demikian, jika sampai terjadi sengketa tata usaha negara dengan Badan Kepegawaian Negara, yang menjadi tergugat adalah jabatan Kepala Badan Kepegawaian Negara, bukan Badan Kepegawaian Negara.

2. Pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan keputusan tata usaha negara berdasarkan kewenangan yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata.

Disini peraturan perundang-undangan memberikan kewenangan untuk mengeluarkan keputusan tata usaha negara kepada jabatan tata usaha negara, bukan kepada pemangku jabatan.

Oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, istilah jabatan disebut dengan pejabat, yang akibatnya dapat menyesatkan, karena pejabat adalah sama dengan pemangku jabatan. Sebenarnya yang menjadi tergugat dalam sengketa tata usaha negara adalah jabatan tata usaha negara dan bukan pejabat tata usaha negara.

Sebagai contoh, A sebagai pejabat atau pemangku jabatan Bupati Kepala Daerah Kabupaten X telah mengeluarkan surat perintah pembongkaran bangunan, karena bangunan tersebut tidak memiliki IMB. Pada saat B menggantikan A sebagai pejabat atau pemangku jabatan Bupati Kepala Daerah X, surat perintah pembongkaran tersebut baru dilaksanakan. Jika C merasa dirugikan dengan dilaksanakannya surat perintah pembongkaran dan C mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara, maka dalam sengketa tata usaha negara ini yang menjadi tergugat adalah jabatan Bupati Kepala Daerah Kabupaten X dan bukan B sebagai pejabat atau pemangku jabatan Bupati Kepala Daerah Kabupaten X.

Menurut Indroharto, biasanya badan hukum perdata dalam proses peradilan diwakili oleh organ menurut ketentuan hukum perdata dengan memperhatikan anggaran dasarnya., sedangkan bagi instansi pemerintah yang berkedudukan sebagai badan hukum perdata, seperti provinsi, kotapraja, kabupaten dan sebagainya perlu memperhatikan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang menentukan fungsionaris atau badan yang berwenang mewakili, seperti dalam Pasal 65 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, bahwa kepala daerah mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan.

 

G. KUASA HUKUM YANG MELAMPAUI BATAS KEWENANGAN

Bagaimana jika seandainya penerima kuasa hukum bagi pihak dalam suatu sengketa tata usaha negara melakukan tindakan yang melampaui batas kewenangan yang telah diberikan oleh pemberi kuasa atau telah melakukan action en desavue?

Pasal 84 ayat 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara menentukan bahwa apabila dalam persidangan seorang kuasa melakukan tindakan yang melampaui batas kewenangannya, pemberi kuasa dapat mengajukan sangkalan secara tertulis disertai tuntutan agar tindakan kuasa tersebut dinyatakan batal oleh pengadilan.

Jika sangkalan tersebut dikabulkan, Pasal 84 ayat 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara menentukan bahwa hakim wajib menetapkan dalam putusan yang dimuat dalam berita acara sidang bahwa tindakan kuasa itu dinyatakan batal dan selanjutnya dihapus dari berita acara pemeriksaan.

Menurut Martiman Prodjohamidjojo, action en desavue tersebut disamping dapat dijalankan selama proses persidangan berlangsung, juga dapat dilaksanakan setelah putusan akhir (eindvonnis) diucapkan di muka umum.

 

H. FAKTOR YANG MENYEBABKAN KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA DAPAT DINYATAKAN BATAL ATAU TIDAK SAH.

1. Keputusan tata usaha negara bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Penjelasan Pasal 53 ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara menyebutkan bahwa suatu keputusan tata usaha negara dapat dinilai “bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku” apabila keputusan yang bersangkutan :

a. Bertentangan dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang bersifat prosedural atau formal.

b. Bertentangan dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang bersifat materiil atau substansial.

c. Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang tidak berwenang.

2. Keputusan tata usaha negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Menurut Philipus M. Hadjon dkk, sebenarnya tidak ada daftar khusus berapa jumlah asas-asas yang termasuk dalam asas umum pemerintahan yang baik, karena asas-asas tersebut adalah merupakan levende beginselen, sehingga berkembang menurut praktik khusus melalui putusan pengadilan.

Kepustakaan berbahasa Indonesia belum banyak membahas asas umum pemerintahan yang baik dan jika ada pembahasan, isinya juga hampir sama, karena sumbernya terbatas.

Asas umum pemerintahan yang baik, sebagaimana yang dikemukakan oleh Kuntjoro purbopranoto adalah berasal dari kuliah Prof. R. Crince Le Roy pada penataran lanjutan hukum tata negara – hukum tata pemerintahan di Fakultas Hukum Universitas Airlangga tahun 1976, kecuali asas kebijaksanaan dan asas penyelenggaraan kepentingan umum yang berasal dari beliau sendiri, sedangkan asas umum pemerintahan yang baik sebagaimana yang dikemukakan oleh Indroharto adalah berasal dari Van Wijk atau Koninijnenbelt dalam bukunya Hoofdstukken van Administratef Recht.

Kuntjoro Purbopranoto, asas-asas umum pemerintahan yang baik yaitu:

a. Asas kepastian hukum;

b. Asas keseimbangan;

c. Asas kesamaan dalam mengambil keputusan;

d. Asas bertindak cermat;

e. Asas motivasi untuk setiap keputusan pangreh;

f. Asas jangan mencampuradukkan kewenangan;

g. Asas permainan yang layak;

h. Asas keadilan atau kewajaran;

i. Asas menanggapi pengharapan yang wajar;

j. Asas meniadakan akibat-akibat suatu keputusan yang batal;

k. Asas perlindungan atas pandangan hidup;

l. Asas kebijaksanaan;

m. Asas penyelenggaraan kepentingan umum.

 

I. UPAYA ADMINISTRATIF

Upaya administratif dalam bagian Penjelasan Pasal 48 ayat 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yaitu suatu prosedur yang dapat ditempuh oleh seseorang atau badan hukum perdata apabila ia tidak puas terhadap suatu Keputusan Tata Usaha Negara.

Dalam kepustakaan Tata Usaha Negara ditemukan beberapa istilah yang lazim digunakan untuk menyebut istilah upaya administratif, antara lain administratif beroep, guasi rechtspraak, atau peradilan administrasi semu.

Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, pada beberapa peraturan perundang-undangan sudah terdapat ketentuan bahwa di dalam penyelesaian sengketa tata usaha negara, orang atau badan hukum perdata yang tidak puas terhadap keputusan yang dijatuhkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara, dapat mengajukan upaya administratif kepada badan atau pejabat tata usaha negara, dapat mengajukan upaya administratif kepada badan atau pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan keputusan atau atasannya.

Ketentuan tentang adanya upaya administratif tersebut merupakan dan dimaksudkan sebagai kontrol atau pengawasan yang bersifat intern dan represif di lingkungan tata usaha negara terhadap keputusan yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara.

 

J. ULTRA PETITA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA.

Dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 5K/TUN/1992 tanggal 6 Februari 1993 dapat diketahui bahwa untuk penyelesaian sengketa tata usaha negara, hakim dapat memutuskan ultra petita. Untuk jelasnya secara garis besar kasusnya dapat dikemukakan sebagai berikut :

Ny. D bt A dkk. sebagai penggugat telah mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta dan sebagai tergugat adalah Kepala Badan Pertanahan Nasional DKI Jakarta.

Sebagai petitum dari gugatannya adalah agar dinyatakan tidak sah sertipikat hak guna bangunan nomor 116 dan sertipikat hak guna bangunan nomor 136, karena tanah yang disebutkan dalam kedua sertipikat tersebut adalah miliknya berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 1523K/Sip/1982 tanggal 28 Februari 1983.

Pada petitum dari gugatan tidak dimohonkan pula untuk dinyatakan tidak sah :

a. Akta jual beli nomor 25/JB/III/1983 tanggal 21 Maret 1983 yang dibuat dihadapan Notaris atau PPAT YP, S.H., yang menjadi dasar dikeluarkannya sertifikat hak guna bangunan nomor 116;

b. Akta jual beli nomor 26/JB/III/1983 tanggal 21 Maret 1983 yang dibuat dihadapan Notaris atau PPAT YP, S.H., yang menjadi dasar dikeluarkannya sertipikat hak guna bangunan nomor 136.

Dengan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 010/G/1991/PTUN, tanggal 17 Oktober 1991, gugatan dikabulkan, tetapi dengan Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 13/B/1991/PT, TUN, tanggal 27 Januari 1992, putusan Pengadilan Tata Usaha Negara tersebut dibatalkan.

Dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 5K/TUN/1992, tanggal 6 Februari 1993, dinyatakan tidak sah, baik kedua sertipikat maupun kedua akta jual beli tanah yang menjadi dasar dibuatnya kedua sertifikat tersebut.

Dari putusan Mahkamah Agung tersebut, jelas dapat diketahui bahwa Mahkamah Agung telah menjatuhkan putusan melebihi atau di luar petitum yang diajukan oleh penggugat.

Apa sebab sampai Mahkamah Agung memutus ultra petita dapat diikuti pertimbangannya sebagai berikut :

a. Walaupun pihak penggugat-penggugat asal tidak mengajukannya dalam petitum, Mahkamah Agung dapat mempertimbangkan dan mengadili semua keputusan atau penetapan yang bertentangan dengan tatanan yang ada, yaitu Putusan Mahkamah Agung Nomor 152K/Sip/1982;

b. adalah tidak dapat dibenarkan bila hakim membiarkan keputusan-keputusan dan/atau penetapan-penetapan yang bertentangan dengan tatanan hukum yang ada tersebut berlanjut hanya berdasarkan pertimbangan karena pihak-pihak dalam perkara tidak mengajukan pertentangan yang ada tersebut di persidangan, lagipula adalah tidak pada tempatnya bila hak menguji hakim hanya dibatasi pada objek sengketa yang telah diajukan oleh pihak-pihak, karena sering objek sengketa tersebut harus dinilai dan dipertimbangkan dalam kaitannya dengan bagian-bagian penetapan-penetapan badan atau pejabat tata usaha negara yang tidak disengketakan antara kedua belah pihak (ultra petitia).

Dalam catatannya terhadap putusan Mahkamah Agung tersebut, Olden Bidara mengemukakan bahwa sebagai konsekuensi dari penerapan lembaga hukum ultra petita ini – yakni penambahan objek sengketa yang diajukan oleh para pihak – dapat pula menjurus kepada reformatio in peius, yakni hakim dari peradilan tata usaha negara justru memberi putusan yang merugikan atau mengurangi kedudukan atau kepentingan hukum penggugat, dalam arti dengan putusan hakim dari peradilan tata usaha negara, penggugat akan dibawa ke dalam situasi yang lebih merugikan baginya daripada sebelum ia mengajukan gugatan inlite (lihat kuliah Prof. Mr. B.W.N. de Ward di Utrcecht pada tanggal 2 November 1989). Demikian pula dikemukakan oleh Suparto Widj

 

K. PENINJAUAN KEMBALI TERHADAP PUTUSAN PERKARA SENGKETA TATA USAHA NEGARA.

1. Putusan pengadilan yang dapat diajukan pemeriksaan peninjauan kembali.

Menurut Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, putusan yang dapat diajukan permohonan pemeriksaan peninjauan kembali adalah “putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.”

Yang dimaksud dengan “putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” adalah terhadap putusan pengadilan tersebut sudah tidak ada lagi upaya hukum biasa yang dapat dipergunakan oleh para pihak.

2. Alasan-alasan permohonan peninjauan kembali terhadap putusan perkara sengketa tata usaha negara yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Pasal 67 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung :

a. Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti baru yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu;

b. Apabila perkara setelah diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan;

c. Apabila telah suatu hal yang tidak dituntut atau lebih daripada yang dituntut;

d. Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya;

e. Apabila antara pihak-pihak yang sama, mengenai suatu hal yang sama, atas dasar yang sama oleh pengadilan yang sama atau sama tingkatnya telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain;

f. Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata;

Mengenai alasan untuk mengajukan peninjauan kembali sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 67 huruf c Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, Indroharto mengemukakan bahwa dengan adanya alasan ini dapat disimpulkan, hakim tata usaha negara tidak dapat memutus ultra petita (memutus lebih dari yang dituntut dalam surat gugat).

Untuk dapat memahami apa yang telah dikemukakan oleh Indroharto seperti diatas, terlebih dahulu perlu diingat bahwa ketentuan tentang pemeriksaan peninjauan kembali untuk putusan perkara sengketa tata usaha negara, asalnya adalah ketentuan tentang pemeriksaan peninjauan kembali untuk putusan perkara perdata yang diberlakukan pada pemeriksaan peninjauan kembali untuk perkara sengketa tata usaha negara.

Dalam hukum acara perdata, memang terdapat larangan untuk menjatuhkan putusan tentang hal-hal yang tidak dituntut atau mengabulkan lebih dari yang dituntut, yaitu sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 178 HIR/189 ayat (3) Rbg, meskipun harus diakui ketentuan tersebut dalam penerapannya kemudian telah diperlunak dengan adanya beberapa putusan Mahkamah Agung.

Atas dasar alasan seperti diatas, kiranya dapat dipahami jika sampai Indroharto mengemukakan bahwa hakim tata usaha negara tidak dapat memutus ultra petita, namun dengan adanya putusan Mahkamah Agung Nomor 5K/TUN/1992 tanggal 6 Februari 1993 ternyata hakim tata usaha negara dapat memutus ultra petita.

Dengan demikian, jika ditinjau dari sudut putusan Mahkamah Agung tersebut, alasan untuk mengajukan permohonan pemeriksaan peninjauan kembali sebagaimana dimaksud oleh Pasal 67 huruf c Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dalam perkembangan penerapannya sudah tidak tepat lagi.

Terhadap putusan Mahkamah Agung tersebut terdapat catatan antara lain sebagai berikut :

a. Hakim peradilan tata usaha negara pun pada dasarnya tidak boleh memutus tentang hal-hal yang berada di luar batas permasalahan dan isi dari keputusan badan atau pejabat tata usaha negara yang digugat itu;

b. Hakim peradilan tata usaha negara hanya dapat memeriksa dan memutus tentang hal-hal yang langsung terkait dengan permasalahan pokok yang digugat, walaupun hal itu tidak dimohonkan untuk diputus oleh penggugat;

c. Yang menjadi dasar pertimbangan adalah apakah keputusan badan atau pejabat tata usaha negara itu sejalan dengan tatanan hukum yang ada dan berlaku;

d. Bilamana keputusan badan atau pejabat tata usaha negara itu telah menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang ada, maka hakim peradilan tata usaha negara berkewajiban mengambil putusan atau membatalkan keputusan yang digugat itu, walaupun hal itu tidak dimohonkan untuk diputus oleh penggugat sendiri. Penyimpangan itu harus diluruskan oleh hakim peradilan tata usaha negara dan tidak hanya diserahkan kepada kehendak atau pertimbangan para pihak itu sendiri.

 

Sumber referensi :

Wiyono R., Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, edisi ketiga, cetakan ke-IV, Jakarta TImur : Sinar Grafika, 2016.

Tinggalkan komentar