Tiap perjanjian tersebut mempunyai pengertian dan ciri tersendiri sebagai pembeda antara perjanjian-perjanjian yang ada. Adanya pengertian dan ciri yang berbeda tersebut merupakan suatu signifikasi batas tiap perjanjian.

Dalam praktik ditemukan perjanjian-perjanjian tertentu, tetapi ketika terjadi sengketa, ternyata maksudnya menjadi berbeda. Misalnya, dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1074 K/Pdt/1995 bahwa perjanjian utang-piutang dengan jaminan tanah tidak dapat digantikan menjadi perjanjian jual beli tanah jaminan apabila tidak ada kesepakatan mengenai harga tanah tersebut. Pada awal perjanjiannya adalah utang-piutang dengan jaminan tanah, tetapi berhubung pihak yang berutang tidak sanggup membayarnya, maka ditindaklanjuti dengan menjadi jual beli. Artinya, tanah jaminan tersebut menjadi objek jual beli sebagai bentuk pelunasan utang dan hal tersebut tidak diperbolehkan jika tidak ada kesepakatan mengenai harga tanah tersebut. Untuk lebih tegasnya, jika memang diperjanjikan pinjam-meminjam uang dengan jaminan, harus ditegaskan pada awal perjanjian seperti itu, yaitu pinjam-meminjam uang dengan jaminan tanah. Jangan ketika debitur wanprestasi, barang jaminan tersebut ditindaklanjuti menjadi jual beli. Artinya, yang meminjamkan menjadi berkedudukan sebagai pembeli dan yang meminjam menjadi berkedudukan sebagai penjual. Contoh lainnya terdapat dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 1904 K/Sip/1982 bahwa timbulnya surat kuasa untuk menjual rumah sengketa, baik kepada pihak ketiga maupun kepada dirinya, ternyata berawal dari surat pengakuan utang dengan rumah sengketa sebagai jaminan, maka perjanjian tersebut merupakan perjanjian semua untuk menggantikan perjanjian asli yang merupakan utang-piutang.

 

Sumber Referensi :

DR.Habib Adjie, S.H.,M.Hum., Merajut Pemikiran Dalam Dunia Notaris dan PPAT, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2011.

Tinggalkan komentar