Akta otentik memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna, yang mana berdasarkan bentuknya akta otentik memiliki tiga bentuk kekuatan pembuktian, antara lain :

1. Kekuatan pembuktian lahir (uitwendige bewijskracht).

Suatu naskah yang lahirnya nampak sebagai suatu naskah otentik dan memenuhi syarat-syarat yang ditentukan untuk naskah-naskah semacam itu dianggap sebagai naskah otentik sampai ternyata terbukti sebaliknya. Karenanya beban pembuktian diletakkan pada siapa yang menyangkal  otentisitasnya itu. Tanda tangan dari pejabat yang ada dianggap pasti benar. Baik ilmu hukum maupun praktik peradilan sama-sama sependapat bahwa kekuatan pembuktian lahir dari akta otentik ini berlaku bagi setiap orang dan tidak terbatas pada pihak yang berkepentingan dengan isi dari naskah tersebut. Sebagaimana akan  kita ketahui nanti kekuatan pembuktian lahir seperti ini tidak dimiliki oleh akta di bawah tangan. Sebagai alat bukti, maka kekuatan pembuktian lahir inilah keistimewaan dari akta otentik.

2. Kekuatan pembuktian formil (formele bewijskracht).

Dalam arti formil akta otentik itu membuktikan kebenaran dari apa yang dilihat, didengar dan dikerjakan oleh pejabat umum tersebut. Karenanya yang pasti dianggap benar adalah hari tanggal dari akta itu, tempat dibuatnya akta tersebut, kebenaran dari tanda tangan yang dibubuhkan dibawahnya dan terhadap setiap orang dianggap benar bahwa yang menandatangani itu telah menerangkan segala apa yang tertulis di atas tanda tangannya tetapi jelas bahwa kekuatan pembuktian ini tidak sampai meliputi hal-hal yang tidak bisa ditangkap oleh panca indera sang pejabat itu maupun yang tidak dapat ia menilainya. Dalam suatu akta jual beli umpamanya bagi setiap orang dianggap pasti bahwa pihak-pihak telah menerangkan bahwa mereka telah mengadakan perjanjian jual beli dan pejabat itu telah menerangkan bahwa A dan B itulah yang telah menandatangani akta itu dan akta itu dibuat pada tanggal tersebut. Yang pasti bahwa pejabat itu benar-benar telah menyatakan dalam akta tersebut bahwa ia telah melihat mendengar dan mengerjakan apa yang tertulis dalam akta itu bilamana hal itu meragukan atau ada redaksi (teks) yang tidak jelas maka diperlukan penafsiran.

3. Kekuatan pembuktian materiil (materieel bewijskracht).

Kekuatan pembuktian materiil meliputi bahwa isi dari keterangan tersebut dianggap benar terhadap siapa yang membuat keterangan itu sedangkan terhadap lain-lain pihak kekuatan pembuktiannya adalah bebas.

Sumber referensi :

D.Y. Witanto, Dimensi Kerugian Negara Dalam Hubungan Kontraktual, Suatu Tinjauan Terhadap Risiko Kontrak Dalam Proyek Pengadaan Barang Jasa Instansi Pemerintah, CV. Mandar Maju, Bandung, 2011, dalam D.Y. Witanto, Hukum Jaminan Fidusia Dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen (Aspek Perikatan, Pendaftaran, Dan Eksekusi), CV. Mandar Maju, Bandung, 2015.

Tinggalkan komentar