Dalam suatu proses perdata, salah satu tugas hakim adalah untuk menyelidiki apakah suatu hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan benar-benar ada atau tidak. Adanya hubungan  hukum inilah yang harus terbukti apabila penggugat menginginkan kemenangan dalam suatu perkara. Apabila penggugat tidak berhasil untuk membuktikan dalil-dalilnya yang menjadi dasar gugatnya, maka gugatannya akan ditolak, sedangkan apabila berhasil, gugatannya akan dikabulkan.

Tidak semua dalil yang menjadi dasar gugatan harus dibuktikan kebenarannya, sebab dalil-dalil yang tidak disangkal, apalagi diakui sepenuhnya oleh pihak lawan, tidak perlu dibuktikan lagi. Dalam soal pembuktian tidak selalu pihak penggugat saja yang harus membuktikan dalilnya. Hakim yang memeriksa perkara itu akan menentukan siapa diantara pihak-pihak yang berperkara akan diwajibkan untuk memberikan bukti, apakah itu pihak penggugat atau sebaliknya, yaitu pihak tergugat. Dengan perkataan lain hakim sendiri yang menentukan pihak yang mana akan memikul beban pembuktian.

Di dalam soal menjatuhkan beban pembuktian, hakim harus bertindak arif dan bijaksana, serta tidak boleh berat sebelah. Semua peristiwan dan keadaan yang konkrit harus diperhatikan secara seksama olehnya.

Selain untuk hal-hal yang telah diakui atau setidak-tidaknya tidak disangkal, masih terdapat satu hal lagi yang tidak harus dibuktikan, ialah berupa hal-hal atau keadaan-keadaan yang telah diketahui oleh khalayak ramai. Hal yang disebut terakhir ini dalam hukum acara perdata disebut fakta notoir. Adalah sudah diketahui oleh khalayak ramai, sudah merupakan pengetahuan umum, merupakan fakta notoir, bahwa pada hari minggu semua kantor-kantor pemerintah tutup. Dan bahwa harga tanah di kota, terutama di Jakarta, lebih mahal daripada harga tanah di desa. Faktor notoir merupakan hal atau keadaan yang sudah diketahui pula sendiri oleh hakim.

Menurut Prof.Mr.A. Pitlo dalam bukunya “BEWIJS EN VERJARING NAAR HET NEDERLANDS BURGERLIJK WETBOEK”, penerbit H.D. Tjeenk Willink & Zoon N.V., 1953, hal. 16, mengatakan bahwa tidaklah termasuk dalam “notoire feiten” itu peristiwa-peristiwa yang secara kebetulan diketahui oleh hakim yang bersangkutan. atau ia menyaksikannya ketika terjadi atau hakim yang bersangkutan mempunyai keahlian perihal suatu kejadian/keadaan. Pendapat itu dapat dibenarkan, karena hal-hal semacam itu sukar untuk dimasukkan dalam golongan “diketahui umum”. Dalam hal timbul perselisihan-perselisihan hal-hal semacam itu masih harus dibuktikan. Demikian pula pendapat Prof.R. Soekardono S.H., seorang hakim yang sangat berpengalaman, dalam karangannya “PENGGUNAAN UPAYA-UPAYA PEMBUKTIAN DALAM PROSEDURE PERDATA”, majalah Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (LPHN), 1971 No. 12 hal. 49.

Ditilik dari apa yang telah diuraikan di atas ternyata, bahwa soal membuktikan suatu peristiwa, mengenai adanya suatu hubungan hukum, adalah suatu cara untuk meyakinkan hakim akan kebenaran dalil-dalil yang menjadi dasar gugat, atau dalil-dalil yang dipergunakan untuk menyangkal tentang kebenaran dalil-dalil yang telah dikemukakan oleh pihak lawan.

Berbeda dengan azas yang terdapat dalam hukum acara pidana, dimana seorang tidak bisa dipersalahkan telah melakukan tindak pidana, kecuali apabila berdasarkan bukti-bukti yang sah hakim memperoleh keyakinan tentang kesalahan terdakwa, dalam hukum acara perdata untuk memenangkan seseorang, tidak perlu adanya keyakinan hakim. Yang penting adalah adanya alat-alat bukti yang sah, dan berdasarkan alat-alat bukti tersebut hakim akan mengambil keputusan siapa yang menang dan siapa yang kalah. Dengan perkataan lain, dalam hukum acara perdata, cukup dengan kebenaran formil saja.

Sumber Referensi :

Retnowulan Sutanto dan Iskandar Oeripkartawinata, 2005, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktik, Cetakan ke 10, Bandung : CV. Mandar Maju.

Tinggalkan komentar