Berdasarkan pasal 15 ayat 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, kewenangan  Notaris yaitu membuat akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, memberikan salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.

Salinan, Kutipan dan Grosse (selanjutnya hanya disebut salinan) akta notaris biasanya disampul menggunakan kertas khusus yang dipersiapkan untuk itu. Tujuannya untuk menjamin salinan akta tetap bersih, awet dan rapi. Bentuk sampul salinan akta notaris sampai saat ini masih belum ada keseragaman. Para notaris berbeda dalam menentukan bentuknya. Mulai dari warna latar, warna, bentuk dan ukuran tulisan, ada yang menggunakan lambang burung garuda dan ada yang tidak, keterangan-keterangan yang dimuat, bahkan sampul salinan akta notaris juga memuat keterangan mengenai jabatan pejabat pembuat akta tanah beserta nomor surat keputusan pengangkatannya, padahal antara notaris dan pejabat pembuat akta tanah merupakan jabatan yang berbeda. Hal ini berlangsung terus menerus dan seolah-olah diwariskan dari notaris terdahulu.

Bentuk salinan akta notaris memang belum ada pengaturannya dalam peraturan perundang-undangan, namun bukan berarti para notaris dibenarkan bersikap tak acuh dengan keadaan tersebut, karena berpotensi menimbulkan kebingungan di tengah masyarakat. Potensi stigma disparitas finansial diantara notaris akibat penilaian masyarakat terhadap kualitas sampul salinan akta notaris sehingga memicu polemik diantara notaris. Bahkan yang lebih mengkhawatirkan, potensi stigma masyarakat bahwa kekuatan pembuktian akta autentik dinilai dari kualitas sampul salinan akta notaris. Hal-hal ini tidak boleh terus menerus berlangsung.

Berbeda halnya dengan sampul salinan akta notaris, untuk sampul salinan akta pejabat pembuat akta tanah (selanjutnya disingkat PPAT) diatur dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional  Nomor 8 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Negara Agraria /  Kepala Badan Pertanahan Nomor 3 Tahun 1997 (selanjutnya hanya dsingkat Perkaban). Dalam Perkaban di bagian lampiran masing-masing akta peralihan hak atas tanah, dituliskan spesifikasi sampul akta yaitu 1) jenis kertas sampul adalah jenis kertas karton (contoh : BW/BC/TIK), 150 s/d 250 gr; 2) ukuran kertas sampul 29,7 cm x 42 cm (A3); 3) sampul berwarna putih; 4) sampul depan diberikan kop PPAT dan ditulis judul masing-masing akta peralihan hak atas tanah; 5) penulisan judul akta dengan huruf Bookman Old Style, ukuran 28 dan warna hitam; dan 6) tinta yang dipergunakan berwarna hitam dan tidak mudah luntur.

Dalam sistem hukum civil law, ajaran legisme sangat dominan, dimana penerapan suatu aturan hukum harus terlebih dahulu dibuat dalam bentuk hukum tertulis. Apabila terdapat suatu hal yang ingin diatur, namun belum dibuat dalam bentuk hukum tertulis, maka dalam persepektif hukum positif hal itu tidak memiliki kekuatan mengikat sehingga tidak dapat dipaksakan. Sistem hukum dan ajaran yang dianut di Indonesia ini rentan terjadi kekosongan hukum, karena hukum tertulis yang ada, tidak dapat mengikuti perkembangan perbuatan dan peristiwa hukum yang terjadi di masyarakat. Sebagai solusi dari kekosongan hukum, para iuris melakukan penemuan hukum. Terdapat beberapa doktrin mengenai penemuan hukum. Penulis menganut paham yang membagi penemuan hukum menjadi 2 metode yaitu 1) penafsiran hukum; dan 2) konstruksi hukum. Penafsiran hukum terbagi menjadi 5 metode yaitu 1) penafsiran otentik; 2) penafsiran gramatikal; 3) penafsiran sosiologis/teleologis; 4) penafsiran sistematis; 5) penafsiran historis. Konstruksi hukum terbagi menjadi 3 metode yaitu 1) analogi; 2) penghalusan hukum; 3) argumentum a contrario.

Untuk menjawab kekosongan hukum mengenai peraturan bentuk sampul akta notaris, penulis akan menganalisa menggunakan metode konstruksi analogis yaitu menerapkan suatu peraturan yang mengatur suatu perbuatan tertentu untuk diterapkan layaknya mengatur pula suatu perbuatan lain yang sesungguhnya tidak ada peraturannya. Metode penemuan hukum analogis ini dilarang untuk diterapkan pada ranah hukum pidana, namun tidak dilarang pada ranah hukum lainnya. Oleh karena itu, tidak dilarang penggunaannya untuk menjawab kekosongan hukum peraturan sampul akta notaris.

Bagaimana analogi akan menjawab kekosongan hukum tersebut ?

Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentan Peraturan Pejabat Pembuat Akta Tanah,  definisi PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun.

Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, definisi notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang atau berdasarkan undang-undang lainnya.

Dari definisi notaris dan PPAT, diketahui bahwa keduanya memiliki irisan sebagai pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik atas suatu perbuatan hukum tertentu. Oleh karena itu, seyogyanya apabila diantara 2 jabatan ini dalam pelaksanaan jabatannya terdapat suatu kekosongan hukum, maka peraturan diantara keduanya bisa saling menginspirasi berdasarkan analogi, iya hanya sebatas inspirasi, sepanjang tidak bertentangan dengan aturan hukum lainnya. Lalu mengapa mesti PPAT bukankah pejabat pembuat akta autentik bukan hanya notaris dan PPAT ? Hal ini karena pejabat notaris dan pejabat PPAT pada umumnya dirangkap oleh orang yang sama sehingga mengharmonisasikan berbagai aturan terhadap suatu perbuatan tertentu untuk menjadi inspirasi bagi perbuatan yang lain dalam satu pemikiran sangat mungkin diwujudkan.

Peraturan bentuk sampul akta PPAT dalam perkaban digunakan sebagai inspirasi terhadap bentuk sampul salinan akta notaris sehingga menjamin suatu bentuk salinan akta notaris yang sama diantara notaris. Dengan demikian spesifikasi sampul salinan akta notaris setelah diharmoniskan dengan perkaban yaitu 1) jenis kertas sampul adalah jenis kertas karton (contoh : BW/BC/TIK), 150 s/d 250 gr; 2) ukuran kertas sampul 29,7 cm x 42 cm (A3); 3) sampul berwarna putih; 4) sampul depan diberikan kop Notaris dan ditulis judul, nomor, dan tanggal akta; 5) penulisan judul akta dengan huruf Bookman Old Style, ukuran 28 dan warna hitam; dan 6) tinta yang dipergunakan berwarna hitam dan tidak mudah luntur.

Melalui penulisan ini, penulis berharap menjadi pertimbangan bagi otoritas untuk membuat suatu kebijakan yang mengatur bentuk sampul salinan akta notaris agar  terbentuk suatu keseragaman, harmonisasi, konsistensi, ketertiban, dan kepastian bentuk salinan akta notaris. Selain itu juga, menciptakan suatu kondisi ideal, sehingga masyarakat tidak lagi mengalami kebingungan dan keresahan. Juga kepada para notaris, khususnya bagi notaris yang baru diangkat karena masih mencari bentuk ideal manajemen kantor notaris yang baik, selama masih terjadi kekosongan hukum, sesungguhnya inspirasi untuk membuat sampul salinan akta terdapat dalam perkaban, marilah berkomitmen untuk membentuk suatu keseragaman bentuk sampul salinan akta dan jangan hanya mewariskan bentuk sampul salinan akta dari notaris terdahulu yang berbeda-beda satu sama lainnya.

Tinggalkan komentar